Senin, 29 Maret 2010

Kualitas dan Kuantitas Guru

KEBIJAKAN KUALITAS DAN KUANTITAS GURU
DI ERA GLOBALISASI

Oleh: I Ketut Bagiastra

1. Latar Belakang
Penyertaan pendidikan dalam usaha pembangunan di berbagai bidang jelas diperlukan. Stimulasi dan penyertaan upaya pendidikan pada masyarakat yang sedang membangun ternyata memberikan hasil yang memuaskan di dalam mengatasi persoalan-persoalan dan hajat hidup orang banyak, baik di bidang perbaikan sistem politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya (Burhanuddin Salam, 1997: 172).
Tidak dapat disangkal lagi tentang besarnya arti pendidikan sebagai faktor universal yang mutlak ada dan harus diperhatikan secara khusus. Tidak berlebihan jika posisi pendidikan seharusnya dijadikan sebagai ”public good”.
Di Indonesia sudah seharusnya pendidikan diprioritaskan pengembangannya. Jika mencermati sudut politik will pemerintah, gagasan untuk itu telah diwujudkan melalui kebijakan pemerintah pada sektor pendidikan yaitu kurikulum 2004 yang penekanannya lebih pada dasar-dasar kompetensi atau dengan kata lain kurikulum berbasis kompetensi.
Ujung tobak dari setiap kebijakan atau yang berkaitan dengan pendidikan, akhirnya berpulang pada mahluk yang bernama guru. Gurulah yang akan melaksanakan secara operasional segala bentuk pola, gerak, dan geliatnya perubahan kurikulum tersebut. Seperti saat ini, ketika berbagai model pembelajaran yang berkaitan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sedang diujicobakan, gurulah yang sangat berperan dalam melaksanakannya. Masukan dari para guru tersebut akan dijadikan sebagai bagian dari perbaikan, terutama pada model pembelajaran itu sendiri dan juga pada komponen atau unsur-unsur kurikulum lainnya yang terkait dengan uji coba tersebut.
Sampai saat ini kurikulum yang diterapkan di Indonesia masih sangat labil perubahan kurikulum berlangsung begitu cepat. Kurikulum berbasis kompetensi yang di terapkan, belum semua tenaga pendidik dan kependidikan memahami dan mampu melaksanakan kurikulum tersebut sudah muncul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jika dicermati secara teoritis semuanya memiliki keunggulan, semuanya serba bagus, tidak ada argumentasi yang negatif. Persoalannya sesungguhnya adalah apakah sudah siap untuk melaksanakan semua itu, dengan kondisi pendidikan seperti ini. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. (Yatim Riyanto, 2006; 9). Menurut Mauritz Johnson (dalam Yatim Riyanto, 2006; 9) kurikulum ”prescribes (or at least anticipates) the result of instruction”.
Melihat peran yang begitu besar dari para guru, dengan perubahan kurikulum yang begitu cepat, lalu timbul pertanyaan: apakah guru-guru di Indonesia memiliki kualifikasi yang memadai untuk itu? Apakah guru-guru tersebut mempunyai kualitas professional kearah itu ? Selain itu, secara professional apakah guru-guru memiliki kemauan dan komitmen dalam upaya perbaikan kurikulum ini ? Yang menjadi kekhawatiran dan kegalauan kita adalah dari sekian guru yang jumlahnya jutaan tersebut, apakah persentase terbesar dari mereka itu lebih mengarah pada kualitas yang kurang memadai ? Secara kuantitas, cukupkah jumlah guru sekarang ini dan apakah mereka tersebar secara merata di seluruh Indonesia.
Pada era globalisasi ini, baik yang mencakup aspek ekonomi, budaya, politik, pendidikan atau aspek social sekalipun akan memberikan kemungkinan yang sangat terbuka bagi siapa saja untuk turut bersaing di setiap negara peserta. Persaingan bebas seperti ini menuntut kesiapan setiap negara secara optimal bila ingin tetap bisa berperan serta.
Dalam kondisi yang demikian itu, tidak ada jalan lain yang harus dilakukan oleh sebuah negara yaitu melaksanakan atau mereformasi system perekonomian, system perdagangan, sitem produksi, system pendidikan, atau system pembinaan sumberdaya manusianya yang sesuai dengan tuntutan era pasar bebas tersebut. Jika negara tidak menghindahkan hal tersebut, produk barang atau jasanya tidak memiliki daya saing yang memadai. Dengan demikian para investor dan atau para buyers tersebut tidak akan pernah berkehendak untuk tertarik dengan produk barang atau jasa negara tersebut.
Era globalisaasi merupakan suatu kondisi yang memperlihatkan dunia ini sudah semakin mengecil. Kita tidak akan bisa lagi menyembunyikan kebobrokan atau keadaan yang buruk dari suatu negara. (Sam M. Chan, dkk. 2005; 139). Hal itu kemungkinan terjadi berkat kemajuan teknik informatika. Kejadian apapun yang dialami oleh suatu negara, dalam waktu singkat akan diketahui oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam waktu yang relatif singkat berita baik atau buruk di suatu negara telah menggelobal. Di dalam kontek informatisasi, dunia ini sudah menjadi satu, tidak ada lagi kotak-kotak yang membatasi wilayah satu dengan lainnya. Dunia adalah satu tempat yang tunggal tanpa batas (borderless world and only one earth). (Azhari, 2000: 79).
Globalisasi memungkinkan menjadi sebuah proses interaktif yang mengembangkan suatu kebudayaan dunia yang sama sehingga akan memunculkan suatu budaya atau peradaban universal. Dengan demikian, kemajuan dan keterbelakangan suatu negara menjadi demikian transparan. Hal ini berimplikasi pada implementasi proses-proses global, seperti proses humanisasi dan proses demokratisasi. ( Tilaar dalam Sam M. Chan, dkk. 2005; 139).
Sektor pendidikan yang menjadi tulang punggung penting dalam membina dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), perlu mengambil langkah-langkah konkret dalam menghadapi kecendrungan global tersebut. Guru sebagai pasukan paling depan dalam mencetak sumber daya manusia memikul beban yang tidak ringan dengan kondisi dan tantangan saat ini, seperti yang kita saksikan dan rasakan bersama.
Mencermati latar belakang tersebut, berikut ini akan dicoba untuk melihat lebih jauh tentang kebijakan pemerintah kaitannya dengan kualitas dan kuantitas guru di era globalisasi.
2. Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan permasalahan, penulis mencoba membatasi permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut:
a. Bagaimana kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di era globalisasi ?
b. Bagaimana kualitas dan kuantitas guru yang ada di era globalisasi ?
c. Bagaimana mutu guru yang ideal diera globalisasi ?
d. Bagaimana mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia ?

3. Tujuan Pembahasan
Yang menjadi tujuan pada kajian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di era globalisasi.
b. Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas guru yang ada di era globalisasi.
c. Untuk mengetahui mutu guru yang ideal diera globalisasi.
d. Untuk mencarikan solusi mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia.

4. Pembahasan
a. Kesejahteran Guru di Era Globlisasi
Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses pembelajaran, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Dalam rangka ini guru tidak semata-mata sebagai ”pengajar” yang transfer of knowldge, tetapi juga sebagai ”pendidik” yang transfer of values dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar. Berkenaan dengan ini maka sebenarnya guru memiliki peranan yang unik dan sangat kompleks di dalam pembelajaran, dalam usahanya untuk mengantarkan siswa ke taraf yang dicita-citakan. Oleh karena itu setiap rencana kegiatan guru harus dapat didudukkan dan dibenarkan semata-mata demi kepentingan anak didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya. (Sardiman A. M., 1997: 123).
Untuk dapat melakukan peranan dan melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya, guru memerlukan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat inilah yang akan membedakan antara guru dari manusia-manusia lain pada umumnya. Adapun syarat-syarat bagi guru itu adalah pesyaratan administratif, persyaratan teknis, pesyaratan psikis, dan persyaratan fisik.
Sesuai dengan tugas keprofesiannya, maka guru memiliki persyaratan sebagai berikut, memiliki kemampuan profesional, memiliki kapasitas intelektual, memiliki sifat edukasi sosial. (Sardiman A. M., 1997: 124-129). Sesuai dengan Undang-Undng No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan Desember 2005 guru lagi-lagi dibebani dengan persyaratan terbaru yaitu ”sertifikasi” walaupun sampai saat ini belum dilaksanakan secara keseluruhan, tetapi cukup menjadi beban psikologis dikalangan para guru.
Memperhatikan tuntutan profesionalisme seorang guru yang tidak ringan, pertanyaan akan muncul dibenak kita apa imbalan yang akan dijanjikan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa ini ? Gaji guru saat ini, untuk golongan tertinggi saja hanya kurang lebih Rp. 2.400.000,- itu pun dengan masa kerja puluhan tahun.(Sam M. Chan dkk., 2006: 56). Lebih jauh dijelaskan bahwa bagaimana gaji guru yang hanya berada di tingkat bawah ? Dari hasil wawancara dengan guru-guru SD dan SLTP mengenai gaji yang mereka terima. Umumnya hanya cukup untuk biaya hidup selama kurang belih 10 hari pada setiap bulannya. Lantas ke mana mereka mencari uang lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga ?
Fenomena seperti ini tentu amat memprihatinkan, guru sebagai profesi yang dipandang sebagai ”orang suci” harus mengais-ngais mencari tambahan lain bagi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Jika ada keinginan pemerintah menaikkan gaji guru, baik berita maupun baru keinginan, harga-harga telah melambung tinggi mendahului kenaikan sesungguhnya yang masih saja tetap tidak memadai. Ditambah lagi dengan efek berita kenaikkan gaji yang menyodok meningkatnya kenaikan harga. Alhasil, kadang-kadang justru dengan kenaikan gajinya, kesejateraan guru bukan semakin membaik malah semakin memburuk.
Sekali lagi amat menyedihkan melihat kesejahteran guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya begitu rendah. Kadang-kadang untuk menutupi kekurangan gajinya dan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, seorang guru ada yang mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek. Pekerjaan ojek bukanlah pekerjaan hina, tetapi secara status sosial dan secara psikis, jauh di lubuk dan beribu rasa yang tidak nyaman. Namun, tuntutan kebutuhan hidup tak dapat diabaikan. Akhirnya untuk menghibur diri, berkatalah guru yang mempunyai kerja sampingan sebagai pengojek, ” Tak apalah, yang penting halal.”
Masih beruntung Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki guru dengan tingkat kesejahteraan rendah, para gurunya hanya bergelut di koridor pekerjaan ”yang penting halal” . Bagaimana seandainya para guru yang akibat himpitan ekonomi mulai melirik dan mengambil pekerjaan sampingan yang berlabel ”yang penting saya bekerja” tanpa mengindahklan nilai-nilai moral ? Bukankah hal ini bisa saja terjadi ?
b. Penyebaran Jumlah dan Mutu Guru
Masalah kualitas dan kuantitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah pemerataan guru.
Idealnya dalam satu sekolah, katakanlah SD, enam orang guru kelas, dua guru bidang studi, satu kepala sekolah, dan satu pesuruh. (Kompas, Kamis 22 Agustus 2002). Paling tidak sepuluh orang. Kebanyakan di banyak pedesaan, jumlah guru sekolah hanya ada sekitar 3-4 orang. Bahkan ada yang satu guru untk satu sekolah, juga pesuruh. ( Tuti T. Sam, 2006: 56).
Sementara itu, di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya bagus, terjadi penumpukan guru. Dalam satu SD dapat dijumpai 11-14 orang guru, termasuk diantaranya kepala sekolah. .(Sam M. Chan dkk., 2006: 58). Kalau sudah seperti itu dan ditanyakan ke pejabat Dins Dikpora hal itu dikatakan logis karena SD yang disebutkan tadi merupakan SD inti sehingga pengajarnya per bidang studi. Tentu saja jawaban tersebut sebagai pembenaran atas kebijakan mutasi guru yang lebih pada politik uang.
Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah yang maju diperkotaan dapat terus bertahan dengan kemajuannya, sementara sekolah yang kekurangan guru di pedesaan/daerah terpencil semakin terisolasi dan semakin terpuruk/ menurun kualitasnya.
Jadi, sekali lagi posisi guru amat renta. Dari segi kuantitas yang amat dilematis (ada banyak sekolah yang kekurangan guru sementara ada sekolah yang kelebihan guru) jika digeneralisasi atau dipersentase memang masih banyak kekurangan guru. Untuk hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan akan dibukanya peluang guru kontrak pada tahun ajaran 2003/2004. Setelah dikalkulasi ternyata anggaran untuk menggaji guru kontrak menjadi hampir tiga kali lipat dari alterntif lain yang tidak menjadi perhatian pemerintah. Ternyata amat kompleks problema untuk menjadikan pendidikan sebagai panglima di negeri ini.
Belum lagi berbicara mengenai kualitas guru. Seorang guru yang memiliki posisi strategis dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang semakin baik amat dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan kemampuan profesional ini harus selalu ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan SDM yang mampu menghadapi persaingan dunia menjelang tahun 2020 nanti. (Prima MD Nuwa, Merdeka, 19 Juli 1995. dalam Tuti T. Sam, 2006: 58).
Dilihat dari kesejateraan guru, bagaimana seorang guru dapat konsentrasi/fokus/serius dalam mengajar. Belum lagi masalah pelatihan-pelatihan yang seharusnya menjadi hak guru, pada kenyataannya di lapangan jika ada kegiatan-kegiatan yang berupaya meningkatkan skill dan profesionalisme, guru pula yang harus mengeluarkan biaya. Akhirnya, guru enggan mengikuti pelatihan yang bertujuan meningkatkan SDM guru karena harus mengeluarkan/menyisihkan gajinya yang memang sudah amat kecil tersebut.
Peningkatan dan menambahan kualitas dan kuantitas guru adalah adanya niat baik pemerintah pusat untuk dapat melakukan pemerataan jumlah guru dengan sistem ”guru kontrak”dan mengadakan perubahan kurikulum dengan berbasis pada kompetensi (KBK). Hal ini merupakan good will dari pemerintah terhadap dunia pendidikan.
Hal lain, bagi peningkatan mutu guru sebagai salah satu tuntutan dalam penciptaan SDM yang bermutu melalui kegiatan pendidikan yang lebih berkualitas adalah dengan dinaikkannya anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN. Kesadaran yang cukup tinggi dari para tokoh-tokoh dunia pendidikan untuk menyongsong abad baru ini dengan pendidikan yang lebih berkualitas, termasuk di dalamnya kepedulian wakil-wakil rakyat di DPR dalam menyuarakan dan mendorong perhatian yang lebih serius pada dunia pendidikan, juga merupakan salah satu komponen yang ikut menentukan terwujudnya kualitas dan kuantitas guru di Indonesia ke depan.
Persoalan yang kemungkinan muncul akibat penambahan jumlah guru melalui sitem kontrak masalah kualitas guru yang dikontrak. Artinya guru kontrak bisa saja merupakan guru kagetan, asal-asalan. Ditinjau dari sudut anggaran/dana pun menjadi berlipat dibandingkan membiayai dalam bentuk lain untuk tujuan yang sama.
Berdasarkan pada realitas di lapangan mengenai kualitas dan kuantitas guru, ditinjau dari jumlah guru secara keseluruhan dan dibagi rata, memang ada fakta kita kekurangan guru. Namun jika dilihat lebih cermat ternyata masalah kekurangan guru hanya terjadi di daerah-daerah terpencil karena sarana prasarana yang tidak menunjang dan memadai.
Oleh karena itu, pemerintah harus membuat terobosan dalam membangun. Artinya, harus ada pemerataan dibidang pembangunan. Hal ini barangkali dapat diatasi dengan adanya UU mengenai otonomi daerah. Di samping itu, pemerintah baik pusat maupun daerah, juga harus membuat program menstimulus lagi guru-guru yang mau mengabdi di daerah-daerah terpencil. Misalnya, ada semacam tunjangan khusus bagi guru yang mau mengabdikan dirinya bagi daerah/desa yang masuk kata gori terpencil sehingga ada semacam ukuran cost dan benefit bagi guru dari sudut rasional dan tuntutan sosial.
Pemerintah tidak perlu ragu dalam memberi umpan demi terjadi pemerataan, pendidikan yang bermutu. Kalau dulu guru dapat menolak ditempatkan di daerah terpencil karena yang terbayang padanya hidupnya akan susah dengan keterbatasan fasilitas sarana dan prasarana. Belum lagi gaji yang terlambat datang. Diharapkan kini dengan adanya kebijakan yang antisipatif yang sebesar-besarnya memperhatikan kesejahteraan guru plus tawaran konpensasi tinggal di daerah terpencil, para guru akan berpikir dua kali untuk menolak tawaran yang sangat manusiawi dan menjanjikan.
Mengenai kualitas guru, memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang diutamakan dalam rangka menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki skill/kemampuan yang tinggi. Pemerintah tidak perlu ragu untuk mengalokasikan dana bagi meningkatan kualitas guru karena tidak dapat disangkal lagi bahwa guru merupakan ujung tombak bagi keberhasilan dunia pendidikan. Apalagi kita sadari bersama bahwa indikasi dari carut marutnya/chaos-nya kondisi di Indonesia saat ini salah satunya adalah karena kegagalan pendidikan mencetak pemimpin negara yang andal, yang moralis, dan berbudi luhur. (Sam M. Chan. 2006: 62).
c. Guru Yang Ideal Di Era Globalisasi
Pada dasarnya peluang untuk membuat guru di Indonesia profesional dalam bidangnya itu ada. Tinggal bagaimana (political will) pemerintah melaksanakannya. Hal ini telah didukung dengan adanya kebijakan pemerintah menaikkan anggaran pendidiakan sebesar 20% dari APBN. Kalau ini benar-benar dinomorsatukan dan dilaksanakan tanpa harus menunggu pengalokasian bidang lain, diharapkan pembinaan guru dapat ditingkatkan melalui anggaran tersebut.
Budaya top down untuk hal-hal yang positif pun tidak ada salahnya. Sebagai contoh, pemerintah pusat menginginkan adanya pembinaan guru-guru untuk meningkatkan skill agar lebih profesional dan bermutu. Di tingkat atas tinggal menginformasikan pada level yang lebih rendah sampai kepada guru. Guru-guru akan senang mendapat pembinaan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuannya.
Peluang lain dalam rangka meningkatkan kualitas guru adalah perhatian dari berbagai pihak termasuk bantuan dari luar negeri. Selama dalam pengimplementasiannya tidak dijamah dan dikotori tangan-tangan jahil, dan mengalirkan bantuan tak terlambat, upaya meningkatan SDM guru diharapkan dapat tercapai. Pada akhirnya guru akan lebih berdedikasi dalam mendidik putra-putri bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan.
Kita tidak boleh menutup sebelah mata bahwa keberhasilan Jepang setelah dibom pada Perang Dunia II, keberhasilan Jerman, Korea, bahkan Malaysia yang pada beberapa puluh tahun lalu masih berguru ke Indonesia, kini menjadi negara yang cukup maju. Keberhasilan mereka sebagaimana laporan komisi UNESCO semata-mata karena negara-negara tersebut tidak pernah merasa takut rugi mengeluarkan dana yang besar bagi kepentingan pendidikan. . (Sam M. Chan dkk. 2006: 63). Bagi mereka hal tersebut merupakan investasi bagi masa mendatang (human investment). Mereka tidak perlu menunggu waktu lama, kini mereka telah memetik hasilnya.
Kalau negara lain bisa melakukan hal tersebut, tidak pernah ada kata terlambat untuk itu atau kita akan kehilangan sama sekali kesempatan memperbaiki generasi yang akan datang. Beranikah kita menghadapi lost generation bagi anak cucu kita ? Pendidikan yang bermutu memerlukan dana karena itu jangan hitung benefit demi keuntungan pribadi. Hitunglah cost benefit sebesar-besarnya untuk kepentingan bangsa ini.
Undang Undang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik. Tuntutan kompetensi ini pada Pasal 10 UUGD dijabarkan menjadi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profsional, dan kompetensi sosial. (Muchls Samani, dkk. 2006: 37).
Sesuai dengan kehadiran Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) dimaksudkan sebagai suatu komponen dari upaya peningkatan mutu pendidikan. Dengan adanya UUGD yang mewajibkan guru (disemua jenjang dan jenis pendidikan) mengikuti dan lulus sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai standar yang telah ditetapkan. (Muchls Samani, dkk. 2006: 4).
Pada pasal 1 ayat (1) UUGD disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Rumusan ini sangat mirip dengan isi yang terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UUSPN sehingga dapat dikatakan bahwa definisi tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia. Hal ini dipertegas lagi pada Pasal 8 UUGD yang disebutkan guru wajib memiliki kualifikasi akademik , kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Rumusan ini hampir sama dengan isi rumusan pada Pasal 42 ayat (1) UUSPN. Perbedaan di antara kedua rumusan hanya pada penggunaan istilah ”kualifikasi akademik” pada UUGD, sedangkan pada UUSPN menggunakan istilah ”kualifikasi minimum”. Namun jika dicermati substansi isi keduanya secara maknawi tidak mengandung hal-hal yang secara substansi bertentangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia memang diwajibkan memenuhi tiga persyaratan, yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidikan.
Kaitan ketiga persyaratan untuk menjadi guru di atas, bisa diperjelas dengan melacak isi Pasal 1 butir (12) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan bahwa sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Untuk itu guru dapat memperoleh sertifikasi pendidik jika telah memenuhi dua syarat, yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan (diploma-D4/sarjana-S1) dan terbukti telah menguasai kompetensi tertentu. Dengan demikian syarat untuk menjadi guru bila dicermati lebih dalam hanya ada dua, yaitu kualifikasi akademik minimum (ijazah D4/S1) dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Jadi sertifikasi pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat di atas, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru.

d. Solusi Mengatasi Persoalan Pendidikan di Indonesia
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusipdan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut danya perubahan pengelolan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat desentralistik.
Tilaar bahkan mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu keaharusan. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah: (a) pembangunan masyarakat demokrasi; (b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan daya saing bangsa. (Tilaar. 2002: 20).
Penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari profesionalisasi pendidik. Sebab yang menjadi penyelenggara pendidikan adalah para pendidik juga. (Pidarta, 2006: 286). Yang dimaksud dengan penyelenggara adalah mereka yang menduduki jabatan struktural, seperti kepala sekolah, ketua jurusan, dekan, dan rektor. Pejabat struktural di kantor-kantor pendidikan juga dapat disebut penyelenggara pendidikan, walaupun hanya menangani aturan dan kebijakan, sebab kedua hal ini juga mempengaruhi bahkan dalam hal-hal tertentu menentukan pelaksanaan pendidikan di sekolah atau di perguruan tinggi.Sudah menjadi kewajiban, bahkan suatu keharusan mutlak bagi para penyelenggara pendidikan untuk bertindak profesional dalam pendidikan. Hanya dengan cara demikian penyelenggaraan pendidikan yang melibatkan sejumlah pendidik yang propesional dapat berjalan dengan efektif dan efesien. Para penyelenggara pendidikan di Indonesia sampai saat ini belum profesional. (Pidarta. 2006: 288). Hal ini dapat dimaklumi sebab hampir semua penyelenggara pendidikan jalur sekolah direkrut dari para pendidik yang berpengalaman dan sukses. Sebagai pendidik sangat mungkin mereka sudah profesional, tetapi sebagai penyelenggara penidikan haruslah seorang profesional di bidang itu, malah harus lebih profesional dari pada para pendidik, sebab peranan penyelenggara pendidikan lebih besar dibandingkan dengan peranan para pendidik dalam mensukseskan pendidikan.
Manajemen pendidikan tidak sama dengan manajemen pemerintahan, apa lagi manajemen bisnis yang mementingkan keuntungan uang. Manajemen pendidikan adalah menangani individu-individu peserta didik yang hidup dinamis dan unik yang sedang berkembang dan bertumbuh. Bantuan dan kesempatan berkembang ke arah positif inilah yang harus dicapai oleh manajemen pendidikan. Manajemen ini membutuhkan banyak variasi, kreasi, dan kiat yang hanya diperoleh melalui pendidikan formal dan sejumlah pengalaman lapangan. Sebab manajemen ini bermuara pada keberhasilan proses pendidikan.
Gerak dan dinamika penyelenggara pendidikan hampir sama dengan gerak dan dinamika manajer perusahan, tidak sama dengan kepala kantor dalam bidang pemerintahan. Sama halnya dengan kepala perusahaan, penyelenggra pendidikan adalah pemimpin lembaga pendidikan, yang bertanggung jawab terhadap hidup dan majunya lembaga yang ia pimpin.
5. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan, maka berikut ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kesejahteran guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya sampai saat ini masih sangat memprihatinkan, sehingga pahlawan tanpa tanda jasa masih harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
2. Kualitas dan kuantitas guru saat ini, merupakan hal yang dilematis, secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai,
3. Guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik, yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profsional, dan kompetensi sosial.
4. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah, termasuk didalamnya desentralisasi pendidikan, yang meliputi pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa, penyelenggaraan pendidikan yang profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Azahari, Azril. Dampak Globalisasi di Pendidikan Tinggi untuk Mengantisipasi Tahun 2020. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Tahun ke 6 No. 023, Mei 2000, halaman 78-89.

Salam, Burhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: Rineka Cipta.

Made Pidarta. 2006. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Muchlas Samani, dkk. 2006. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia. Indonesia: Asosiasi Peneliti Pendidikan Indonesia

Sam M. Chan dan Tuti T. Sam. 2006. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sardiman A. M. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Damaningtyas.. Guru Kontrak Memboroskan Anggaran. Kompas. 22 Agustus 2002

Tilaar, H. A. R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdaka

Selasa, 23 Maret 2010

MBS dan Sekolah Efektif

ANALISIS MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM UPAYA MENCIPTAKAN SEKOLAH EFEKTIF
Oleh: I Ketut Bagiastra
Abstrak:
Kata Kunci: Manajemen Berbasis Sekolah, Sekolah Efektif


1.1. Latar Belakang
Kehidupan global merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar negeri. Sendi pendidikan termasuk yang cukup sensitif menghadapi era globalisasi. Disinilah tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan mutu pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi sumber daya manusia yang berkualitas bagi kebutuhan domestik maupun global. (Mangatas Tampubolon, 2002).
Akhir-akhir ini pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, mengembangkan berbagai kebijakan baru berdasarkan paradigma baru pula. Misalnya adalah kebijakan desentralisasi manajemen pendidikan, penghapusan evaluasi belajar tahap akhir nasional (EBTANAS) sekolah dasar, dan manajemen berbasis sekolah. Menurut Tilaar (dalam Sam M. Cham dan Tuti T. Sam, 2006), mengatakan bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Manajemen berbasis sekolah ini telah berhasil mengangkat kondisi dan memecahkan berbagai masalah pendidikan di beberapa negara maju, seperti Australia dan Amerika. Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu upaya mencapai keunggulan Pendidikan dan diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara mikro, meso, maupun makro.
Sebagaimana juga dimaklumi bersama bahwa ada berbagai persoalan besar dalam dunia pendidikan di Indonesia sementara ini yang harus dicarikan solusinya sesegara mungkin. Berbagai persoalan yang dimaksud, misalnya, pertumbuhan sekolah-sekolah secara kuantitatif yang tidak dibarengi peningkatan kualitas. Dalam rangka pemerataan kesempatan belajar bagi seluruh warga negara pemerintah selalu berusaha mengadakan sebanyak mungkin unit sekolah baru dan atau memberikan subsidi imbal swadaya bagi lembaga-lembaga pendidikan swasta. Sebagai wujud keberhasilannya adalah makin bertambahlah satuan-satuan pendidikan, dan dampaknya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan semakin terbuka lebar bagi warga negara. Namun, tampaknya pertumbuhan kuantitatif tersebut tidak dibarengi oleh pertumbuhan kualitatif. Bahkan justru sebaliknya, sebagaimana banyak dikritisi oleh para pakar dan pengamat pendidikan.
Berbagai bukti dapat dikedepankan. Misalnya masih besarnya angka putus sekolah baik di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) maupun Sekolah Menengah Umum (SMU), sehingga mereka menjadi pengangguran, gelandangan, dan pengamen. Demikian pula, banyak lulusan SLTP yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMU atau Sekolah Menngah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah (MA), dan tidak sedikit lualusan SMU/SMK/MA yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Banyak lulusan SLTP/MTs dan SMU/SMK/MA yang tidak mampu menerapkan pengetahuan yang didapatkan di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akhirnya menjadi pengangguran, tidak mampu memecahkan masalah kehidupanya sendiri apalagi bagi keluarga dan kemaslahatan umat manusia, dan bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menjadi sumber keributan.
Akar persoalannya adalah terletak pada masalah manajemen pendidikan di sekolah-sekolah sementara ini pengelolaannya terlalu kaku dan sentralistik. Oleh karena itu adalah bijaksana sekali bilamana akhir-akhir ini pemerintah mulai mengembangkan dan memasyarakatkan manajemen berbasis sekolah.Manajemen berbasis sekolah merupakan paradigma baru yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan (masyarakat) setempat. Pada manajemen berbasis sekolah, sekolah dituntut untuk secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas (Broad-Based Education) (Depdiknas, 2002).
Sebagaimana sistem pendidikan lainnya, manajemen berbasis sekolah menuntut adanya manajemen yang tepat. Dalam rangka implementasi manajemen berbasis sekolah , diperlukan manajemen gugusan substansi kurikulum dan pembelajaran yang tepat. Pertanyaan manajerialnya adalah bagaimana kepala sekolah bersama seluruh guru yang dipimpin sebaiknya mengelola kurikulum dan pembelajaran, mulai dari pengembangan kurikulum, menciptakan tradisi pembelajaran, pengembangan sistem evaluasi pembelajaran, sehingga pada akhirnya siswa mendapatkan pengalaman belajar yang betul-betul sesuai dengan yang diharapkan.
Manajemen sekolah yang dikembangkan dalam rangka implementasi manajemen berbasis sekolah dalam paradigma menuju otonomi sekolah, dalam bentuk manajemen berbasis sekolah ( school based management). Betapa vital dan strategisnya keberadaan manajemen berbasis sekolah yang efektif dan efesien dalam rangka lebih mengoptimalkan seluruh potensi yang ada di sekolah. Beberapa tahun terakhir ini pemerintah mulai mengembangkan, memasyarakatkan, dan menerapkan manajemen berbasis sekolah.
Pembicaraan mengenai efektifitas sekolah telah menjadi wacana dalam disiplin manajemen berbasis sekolah terutama pada akhir dekade 1990-an. Maraknya wacana ini disebabkan oleh bergesernya tujuan perencanaan pendidikan dari bagaimana meningkatkan input sekolah ke bagaimana meningkatkan mutu pendidikan. Pergeseran ini menyebabkan pemikiran teoretik dan penelitian diarahkan pada upaya mengidentifikasi faktor-faktor yang dipandang memiliki kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan. Konsekuensinya adalah munculnya berbagai konsep dan pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan berbagai persoalan yang berhubungan dengan efektifitas sekolah.
Scheerens (2000) (dalam Surya Dharma, 2006) menunjukkan bahwa untuk mempelajari sekolah yang efektif, manajemen berbasis sekolah perlu menjadi acuan. Kinerja lembaga dapat diperlihatkan melalui autputnya, yang kemudian dapat ditindak lanjuti pengukuran prestasi rata-rata siswa pada akhir masa pendidikan formal mereka. Pandangan serupa juga dikemukakan Sergiovanni (1984) serta Frymier, dkk. (1984) bahwa sekolah pada dasarnya adalah suatu organisasi, oleh karena itu sekolah yang efektif adalah sekolah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Biasanya tingkat pencapaian sekolah yang efektif ditandai dengan prestasi lulusan dalam bidang keterampilan dasar yang diukur melalui tes prestasi terstandar.
Para pakar yang menekankan pendekatan tujuan dalam analisis keefektifan sekolah, mendasarkan argumentasi pada asumsi, bahwa sekolah akan dikatakan efektif oleh siswa, orangtua, masyarakat, dan lainnya jika sekolah tersebut sukses mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan yang diwujudkan dalam prestasi belajar. Disamping kajian tentang efektifitas sekolah berdasarkan tujuan, ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa sekolah yang efektif juga didasarkan pada pendekatan proses, seperti kondisi internal, kesuksesan mekanisme kerja, dan efesiensi dalam mendayagunakan semua sumber yang tersedia dalam mencapai sekolah yang efektif. Kombinasi antara pendekatan tujuan dan pendekatan proses menajadi opsi baru dalam kajian tentang keefektifan sekolah, namun kajian yang dilakukan secara makro selama ini ternyata tidak dengan sendirinya menyelesaikan persoalan keefektifan sekolah. Untuk lebih mengarahkan dalam pembahasn selanjutnya, maka berikut ini dirumuskan tujuan yang ingin dicapai dari artikel ini adalah sebagai berikut: Untuk memahami penerapan manajemen berbasis sekolah, memahami profil sekolah yang efektif, dan memahami upaya menciptakan sekolah yang efektif melalui manajemen berbasis sekolah.

1.4. Batasan Pembahasan
Sesuai dengan latar belakang dan tujuan yang ingin dicapai dari pembahasan makalah ini dan untuk menghindari kesalahpahaman, maka berikut diuraikan ruang lungkup dari makalah ini, yaitu memahami manajemen berbasis sekolah, memahami sekolah yang efektif, dan menciptakan sekolah yang efektif melalui manajemen berbasis sekolah.


II. PEMBAHASAN
2.1. Manajemen Sekolah
Menghadapi adanya peluang selakigus menghadapi tantangan era global ini, pendidikan di Indonesia memerlukan paradigma baru yang cocok dan sesuai dengan tuntutan, perubahan dan perkembangan zaman. Paradigma baru pendidikan untuk menghadapai era global sebagaimana dikemukakan oleh Tilaar (dalam Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, 2006), bahwa pokok-pokok yang harus ada pada paradigma baru pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis. Kedua, untuk mencapai masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis. Ketiga, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang dapat menjawab tantangan internal sekaligus tantangan global. Keempat, pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis. Kelima, didalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengarahkan kemampuan berkompetisi di dalam rangka kerja sama. Keenam, pendidikan harus mampu mengembangkan kebinekaan menuju pada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayan kebinekan masyarakat. Ketujuh, pendidikan harus mampu mengIndonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi insan Indonesia.
Pada hakekatnya proses pendidikan di sekolah merupakan proses kerjasama. Proses kerjasama tersebut tentunya menyertakan banyak orang dan menggunakan berbagai fasilitas, tidak saja berupa sarana dan prasarana melainkan juga dana. Semakin besar sebuah sekolah, maka semakin luas pula kerjasamanya Semakain luas kerjasamanya semakin banyak pula orang yang dilibatkan dan atau fasilitas yang digunakan. Agar dapat mencapai tujuan secara efektif dan efesien, tentunya semua orang yang dilibatkan dan fasilitas yang ada didayagunakan sedemikian rupa. Proses pendayagunaan semua orang dan fasilitas itulah yang disebutdengan manajemen.
Perihal manajemen sebagai proses pendayagunaan pernah dikemukakan banyak pakar administrasi pendidikan, seperti Sergiovanni, Burligame, Coombs, dan Thurston (1987). Mereka mendefinisikan manajemen sebagai process of working with and through otherrs to accomplish organizational goals effcienctly, yaitu proses kerja dengan dan melalui (mendayagunakan) orang lain untuk menvcapai tujuan organisasi secara efesien. Merka berpendapat bahwa manajemen itu merupakankajian administrasi ditinjau dari sudut prosesnya. Menurut mereka manajemen itu proses, terdiri atas kegiatan-kegiatan dalam upaya mencapai tujuankerjasama (administrasi) secara efesien. Pengertian tersebut sesuai dengan pendapat Gorton (1976) yang menegaskan bahwa manajemen merupakan strategi atau langkah-langkah yang digunakan administrator untuk melakukan tugas-tugas tertentu atau mencapai tujuan tertentu.
Menurut Gorton (1976) manajemen pada hakekatnya merupakan proses pemecahan masalah, sehingga langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: Identifikasi masalah, diagnosa masalah, penetapan tujuan, Pembuatan keputusan, perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pendelegasian, penginisiasian, pengkomunikasian, kerja dengan kelompok-kelompok, dan penilaian.
Sedangkan menurut Sergiovanni dkk. (1987), kegiatan-kegiatan manajemen menliputi: perencanaan (planning), Pengorganisasian (organizing), pengerahan (leading), dan pengawasan (cotroling).
Keempat kegiatan tersebut merupakan fungsi-fungsi organik manajemen. Artinya kegiatan tersebut, seperti perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, atau kepemimpinan, dan pengawasan tidak boleh tidak harus dilakukan dalam setiap administrasi. Ketidak mampuan atau kelalaian malakukan kegiatantersebut sangat mempengaruhi keberhasilan. Keempat kegiatan tersebut disebut siklus manajemen.

2.1.1. Perencanan
Perencanaan dapat didevinisika sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan semua aktivitas yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan. Perencanaan merupakan alangkah pertama dalam proses manajemen yang harus dilakukan oleh orang-orang yang mengetahui semua unsur organisasi. Keberhasilan perencanaan sangat menunjang keberhasila kegiatan manajemen secara keseluruhan. Oleh karena itu, perencanaan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.

2.1.2. Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan keseluruhan proses pengelompokkan semua tugas, tanggungjawab, wewenang, dan komponen dalam proses kerjasama sehingga terciptasuatu sistem kerja yang baik dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengorganisasian dilakukan berdasarkan tujuan dan program kerja sebagaimana dihasilkan dalam perencanaan.

2.1.3. Kepemimpinan
Kepemimpinan dapat didevfnisikan sebagai keseluruhan proses mempengaruhi, mendorong, mengajak, menggerakkan, dan menuntun orang lain dalam proses kerja agar berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hakekat kepemimpinan adalah kegiatan seseorang menggerakkan orang lain, agar oarang lain itu berkenan melaksanakan tugas-tugasnya.

2.1.4. Pengawasan
Pengawasan sebagai proses memonitor kegiatan-kegiatan yang tujuan untuk menentukan harapan-harapan yang secara nyata dicapai dan mealakukan perbaikan-perbaikan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Harapan-harapan yang dimaksud tersebut adalah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai, dan program-program yang telah direncanakan untuk dilakukan dalam perioda tertentu. Dengan demikian, pengawasan dalam kontek pendidikan itu merupakan proses memonitor kegiatan-kegiatan untuk mengetahui program-program lembaga pendidikan yang telah diselesaikan dan tujuan-tujuan yang telah dicapai.

2.2. Manajemen Berbasis Sekolah
Mencermati situasi yang dihadapi Indonesia saat ini, yang sekaligus merupakan permasalahan di bidang pendidiakan, sudah seharusnya yang sedang beralangsung saat ini tidak seperti yang terjadi selama ini di mana pelaksanaan pendidiakan banyak diwarnai dengan pendkatan sarwa negara. Di masa yang akan datang pendidiakan harus berorientasi pada aspirasi masyarakat (putting customer first), (Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, 2006). Pendidikan harus mampu mengenali siapa pelanggannya (the customers). Dari pengenalan pelanggan ini, pendidikan akan memahami apa aspirasi dan kebutuhannya (need assessment). Setelah mengetahui aspirasi dan kebutuhan mereka, barulah ditentukan sistem pendidiakan yang termasuk di dalamnya kurikulum, tenaga pengajar, dan lain-lain yang berkaitan dengan pendidikan.
Pola pengabilan keputusannya pun sudah harus berubah dari pola top down menjadi bottom up karena pola top down mengakibatkan terjadinya sentralistik di bidang pendidikan, khususnya sistem pendidikan. Oleh karena itu sistem pendidikan dimasa depan tidak lagi berorientasi pada sentralistik kekuasaan, tetapi berbasis pada masyarakat. Masyarakat harus diperlakukan sebagai subjek, bukan objek dalam bidang kependidikan.
Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah mulai mencoba menggunakan paradigma baru manajemen pendidikan, baik secara makro maupun mikro. Dalam sekala makro, pemerintah telah mencoba menerapkan pendekatan desentralistik manajemen pendidikan. Asumsi dasarnya adalah bahwa peningkatan mutu pendidikan di sekolah, hanya akan terjadi secara efektif bilamana dikelola atau melalui manajemen yang tepat.
Selama ini, peningkatan mutu pendidikan cendrung melalui manajemen yang sentralistik. Betapa banyak dropping buku-buku perpustakaan, buku-buku pelajaran diupayakan secara terpusat, dan sekolah tinggal menerima apa yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat, terlepas apakah barang-barang tersebut dibutuhkan oleh sekolah atau tidak. Begitu banyak program peningkatan mutu penidikan ditetapkan dan diupayakan secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Begitu beragam program pelatihan guru dirancang dan dilaksanakan secara terpusat dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan sementara ini kurang memperhatikan kondisi atau tidak berbasis sekolah. Akibatnya, peningkatan mutu pendidiaan tetap tidak banyak mengalami keberhasilan, kareaa selain tidak sesuai dengan kondisi sekolah, juga tidak dibarengi oleh upaya-upaya dari sekolah yang bersangkutan. Peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah akan terjadi hanya bilamana ada kemauan dan prakarsa dari bawah, di mana kepala sekolah, guru kelas, orangtua siswa, komite sekolah berkemauan dan bekerja keras berupaya mengembangkan program-program peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya.
Namun mulai tahun 2001, pemerintah mencoba menggunakan paradigma baru manajemen pendidikan. Paradigma baru manajemen makro di bidang pendidikan adalah desentralisasi pendidikan yang dilandasi oleh undang-undang Nomor 1999 tentang Pemerintah Daerah yang melahirkan otonomi pendidikan. Secara mikro, adalah dengan dicobanya sebuah model manajemen pendidikan dari sekolah oleh sekolah dan untuk sekolah, yaitu disebut dengan Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah (MPMBS) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

2.2.1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Dalam dunia pendidikan di Indonesia manajemen berbasis sekolah merupakan satu strategi manajemen pendidikan baru, yaitu manajemen berbasis sekolah ( school-based manajement). Di beberapa negara terdapat berbabagai istilah lain untuk manajemen berbasis sekolah, namun secara keseluruhan mengarahkan kepada konsep desentralisasi pengelolaan pendidikan sampai pada level sekolah atau pengelola secara mandiri oleh sekolah, sebagaimana selama ini banyak dilakukan di sekolah-sekolah swasta dan lembaga-lembaga pendidikan pesantren.
Secara konseptual manajemen berbasis sekolah dapat didefinisikan sebagai proses manajemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, yang mana secara otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi sendiri oleh sekolah sesuai dengan kebutuhan sekolah dengan melibatkan semua stakeholder sekolah. Sesuai dengan konsep tersebut, manajemen berbasis sekolah itu pada hakekatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.
David (dalam Depdiknas 2002) mendefinisikan manajemen berbasis sekolah sebagai otonomi sekolah yang dibarengi dengan pembuatan keputusan secara partisipatori. Demikian pula Caldwell (dalam Depdiknas, 2002) mendefinisikan MPMBS sebagai kewenangan pengalokasian sumber daya yang didesentralisasikan. Dalam upaya menggalakkan manajemen berbasis sekolah harus dipahami dalam dua konteks. (a) Bahwa, dengan diterapkannya MBS di sekolah-sekolah, pada dasarnya kedepan akan terjadi peralihan dari pendekatan yang sentralistik menuju desentralistik dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena sebagai pemberian otonomi, maka banyak sekali pakar manajemen pendidikan dari berbagai negara yang menyebut MPMBS atau MBS sebagai otonomi sekolah atau kewenangan yang didesentralisasikan tidak saja ke tingkat kabupaten dan kota melainkan juga sampai ke sekolah. (b) manajemen berbasis sekolah mulai diperkenalkan di sekolah-sekolah di Indonesia sekitar tahun 1997-1998, namun sebenarnya sekolah-sekolah swasta telah lama menerapkannya.
Sekolah swasta selama ini telah berusaha mengelola manajemen secara mandiri dan dalam rangka mempertahankan serta meningkatkan kualitas dan eksistensinya sekolah swasta berusaha meningkatkan kinerjanya secara mandiri, mencari cara-cara baru sesuai dengan kondisi sekolahnya masing-masing, dan berusaha melibatkan masyarakat layanannya.
Levasic (dalam Depdiknas 2002) mengedepankan 3 karakteristik kunci manajemen berbasis sekolah sebagai berikut. Pertama kekuasaan dan tanggung jawab dalam penganmbilan keputusan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasaikan kepada para stakeholder sekolah. Kedua domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang didesentralisasikan mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum. Ketiga walaupun keseluruhan domain manajmen peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggungjawab sekolah.

2.2.2. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah (2000), MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan sumberdaya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya maka diharapkan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah. Sekolah dapat mengembangkan sendiri program-program sesuai kebutuhannya. Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Peningkatan efesiensi diperoleh malalui keleluasaan pengelolaan sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua siswa, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggungjawab pemerintah. MBS yang ditawarkan sebagai bentuk operasional desentralisasi pendidikan akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini.

2.2.3. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan
Kajian beberapa faktor sehubungan dengan manajemen berbasis sekolah berkaitan dengan kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orangtua dan masyarakat serta peranan profesionalisme dan manajerial dan pengembangan profesi.
a. Kewajiban Sekolah
MBS menawarkan keleluasaan pengelolan sekolah, guru dan pengelolaan sistem pendidikan profesional. Oleh karenanya maka pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban serta monitoring dan tuntutan pertanggungjawaban (akuntabel) yang relatif tinggi, untuk menjamin bahwa sekolah selain memiliki otonomi juga mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat sekolah.
b. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggungjawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan erat dengan program melek huruf dan angka, efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Agar prioritas tersebut dilaksanakan oleh sekolah maka pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman umum tentang pelaksanaan MBS. Pedoman tersebut terutama ditujukan untuk menjamin bahwa hasil pendidikan terevaluasi dengan baik dalam arti, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan dengan efektif, sekolah dioperasikan dalam kerangka yang disetujuai pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
c. Peranan Orangtua dan Masyarakat
Dengan MBS diharapkan dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefesienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih.
d. Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Manajemen berbasis sekolah menuntut perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah, kareana pelaksanaan MBS dimungkinkan beroperasi meningkatkan peranan yang bersifat profesional dan manajerial.
e. Pengembangan Profesi
Didalam MBS pemerintah harus dapat menjamin bahwa semua unsur penting tenaga kependidikan menerima pengembangan profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara efektif, agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi yang berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kependidikan untuk MBS.

2.2.4. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
MBS yang ditawarkan sebagai bentuk operasional desentralisasi pendidikan akan memberikan wawasan baru terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumberdaya manusia dan pengelolaan sumber dana dan administrasi.
Salah satu alasan mengapa MBS diperlukan adalah karena MBS merupakan proses pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan istilah yang sangat populer dalam era reformasi. Pemberdayaan dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat dalam perekonomiannya, hak-haknya yang memiliki posisi yang seimbang dengan yang lain yang telah lebih dulu mapan kehidupannya. Manajemen berbasis sekolah merupakan konsep pemberdayaan sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan kemandirian sekolah. Untuk dapat memahami dan menerapkan MBS sebagai proses pemberdayaan terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, antara lain: Pemberdayaan berhubungan dengan upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk memegang kontrol atas diri dan lingkungannya. Adanya kesamaan dan kesepadanan kedudukan dalam hubungan kerja. Menggunakan pendekatan partisifatif. Pendidikan untuk keadilan.
Semua proses di atas merupakan ciri proses pemberdayaan, ciri-ciri inilah yang merupakan tahapan dasar dalam MBS. Berdasarkan hal tersebut, maka karakteristik pemberdayaan sebagai berikut:
a. Penyusunan kelompok kecil, pemberdayaan difokuskan pada kelompok kecil yang mandiri. Kelompok ini diharapkan tumbuh secara alamiah dan pada gilirannya perlu dibentuk koalisi di antara para anggota kelompok.
b. Pengalihan tanggungjawab, dalam MBS terjadi pengalihan dari pemerintah kepada sekolah untuk dapat memberdayakan diri dan lingkungannya.
c. Pimpinan oleh para partisipan, dengan melatih kontrol atau pengambilan keputusan maka diharapkan mendorong semua aspek organisasi. Kepemimpinan dan pemimpin diharapkan lahir secara alamiah dalam proses ini.
d. Guru sebagai pasilitator, guru diharapkan sebagai pembimbing proses dan nara sumber. Komitmen guru sangat diharapkan dalam hal ini.
e. Proses bersifat demokratis dan hubungan kerja yang luwes, segala sesuatu yang dalam MBS dirundingkan bersama dalam kedudukan yang sederajat dan diputuskan dengan musyawarah.
f. Merupakan integrasi antara refleksi dan aksi, pengalaman dari masing-masing partisipan akan menghasilkan fokus yang melibatkan setiap orang yang terlibat melalui aksi dan reaksi yang sama dan menimbulkan keinginan untuk menghadapi resiko bersama.
g. Metoda yang mendorong kepercayaan diri, metoda yang digunakan bersifat meningkatkan keterlibatan aktif, dialog, dan aktivitas kelompok secara mandiri.
h. Meningkatkan derajat kemandirian sosial, ekonomi, dan politik sebagai proses pemberdayaan kedudukan partisipan dalam masyarakat meningkat dalam hal-hal khusus tertentu.

2.3. Sekolah Efektif
Suatu sekolah dikatakan efektif apabila mengacu pada kinerja unit organisasi suatu lembaga. Kinerja lembaga dapat diperlihatkan melalui output lembaga tersebut, yang pada gilirannya diukur sesuai dengan prestasi rata-rata siswa pada akhir masa pendidikan formal mereka di lembaga tersebut tersebut.
Studi Scheerens (dalam Surya Dharma, 2006) yang dilakukan pada negara maju dan negara berkembang menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan keefektifan sekolah. Pengoperasian faktor-faktor ini menurut prilaku menghasilkan sejumlah indikator keefektifan sekolah seperti berikut: Prestasi, orientasi, harapan tinggi; Kepemimpinan pendidikan; Konsensus dan kohesi antar staf; Kualitas kurikulum/kesempatan belajar; Iklim sekolah; Potensi evaluatif; Keterlibatan orangtua; Iklim kelas; dan waktu belajar.
Menurut Surya Dharma (2000), efektifitas sekolah dipengaruhi oleh kompetensi kepala sekolah, Motivasi kerja kepala sekolah dan supervisi pengajaran yang dilakukannya. Disamping ketiga faktor tersebut keefektifn sekolah juga dipengaruhi oleh iklim sekolah, dan kinerja guru. Tidak ada faktor tunggal, langsung atau tidak, yang mempengaruhi keefektifan sekolah, semua variabel dalam kerangka konseptual tersebut berinteraksi dalam mempengaruhi keefektifan sekolah.

2.3.1. Kompetensi Kepala Sekolah
Kompetensi profesional kepala sekolah dalam semua jenjang dan jenis pendidikan agar mampu melaksanakan fungsinya. Kompetensi yang dimiliki dapat menjadi landasan dalam menjalankan peranan dan tanggung jawabnya sebagai administrator, manajer, pemimpin, dan supervisor pendidikan. Kepala sekolah perlu memiliki kompetensi administrasi, manajemen, kepemimpinan, dan supervisi pendidikan, karena peran mereka sehari-hari adalah mengelola dan memimpin sekolah.
Dalam menyiapkan jabatan kepala sekolah, ada lima kelompok kompetensi yang diperlukan untuk memenuhi fungsi dasar kepala sekolah yaitu program instruksional, kepegawaian, kesiswaan, sumber-sumber fisik dan finansial, dan hubungan masyarakat dan sekolah.
Dalam mengkaji peran kepemimpinan kepala sekolah kompetensi kepala sekolah, berdasarkan peran utamanya. Berdasarkan peran administratif agar kepala sekolah disediakan pengetahuan untuk meningkatkan kompetensi manajemen sekolah, pengembangan program dan kurikulum, undang-undang pendidikan/peraturan sekolah, supervisi pengajaran, dan hubungan sosial. Di samping kompetensi ini, kepala sekolah juga perlu memiliki keterampilan-keterampilan konseptual, teknis dan sosial terutama dalam meningkatkan keefektifan sekolah. Kompetensi kepala sekolah juga mempengaruhi kinerjanya dan berdampak pada kinerja organisasi.

2.3.2. Motivasi Kerja
Motivasi kerja seperti halnya motivasi pada umumnya merupakan kondisi yang menggiatkan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu, secara tekun, sungguh-sungguh, dan berkesinambungan. Motivasi kerja sebagai suatu sistem dari kekuatan internal dan kekuatan eksternal. Motivasi dikonsepsikan sebagai kekuatan internal yang mendorong seseorang mengupayakan berbagai cara dan merupakan kekuatan eksternal atau kondisi lingkungan pemicu terhadap dorongan internal.
Motivasi juga dikonsepsikan sebagai kondisi yang mengarahkan perilaku seseorang pada objek-objek tertentu. Kekuatan internal dan kekuatan eksternal dapat meningkatkan intensitas dorongan dan arah perilaku, atau sebaliknya justru menurunkan intensitas dan mengarahkan perilaku ke objek lain.. Motivasi kerja merupakan indikator adanya kesungguhan dan ketekunan pada diri seseorang dalam melakukan pekerjaan secara berkesinambungan.
Segala sesuatu yang mendorong munculnya aktivitas pada seseorang baik itu faktor internal atau faktor eksternal adalah motivasi. Motivasi yang timbul karena faktor internal disebut dengan motivasi intrinsik. Motivasi yang timbul karena faktor eksternal disebut motivasi ekstrinsik. Konsep motivasi kerja di sini didasarkan pada konsep motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsi, karena kedua motivasi tersebut sama-sama merupakan faktor penyebab timbulnya perilaku. Individu melakukan tugas-tugasnya bisa karena dorongan untuk mendapatkan sesuatu seperti gaji, pangkat atau insentif-insentif lain yang eksternal dan bisa pula karena yang bersangkutan memang manyukai pekerjaan yang menjadi tugas kewajibannya karena sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimiliki.

2.3.3. Supervisi Pengajaran
Kepala sekolah pada umumnya dianggap juga sebagai supervisor pengajaran di sekolah yang dipimpinnya, karena bertanggung jawab mengkoordinasikan semua program pengajaran di sekolahnya itu, Piet A. Sahertian, (2000). Agar kepala sekolah efektif dalam perbaikan pengajaran, maka ia perlu memahami dan menggunakan pola atau pendekatan supervisi yang dianggap sesuai dengan keadaan yang dihadapinya. Sebagian besar faktor yang mendorong perbaikan kurikulum adalah perilaku supervisi yang digunakan oleh kepala sekolah terhadap para guru, sehingga kiranya perlu bagi supervisor berperilaku kolaboratif, direktif, ataupun nondirektif sesuai dengan pertimbangannya., Hendiyat Soetopo dan Wasty Soemanto (1984).
Pola kolaboratif dalam kepemimpinan sekolah dapat diwujudkan dalam partisipasi guru dalam pengambilan keputusan yang dampaknya meningkatkkan pembelajaran. Disamping itu semangat kerja dan sikap positif terhadap sekolah dapat tetap terpelihara. Jadi terdapat hubungan antara perasaan ikut serta (partisipasi) dalam pengambilan keputusan dan tingkat komitmen individu dalam organisasi. Demikian juga persepsi bawahan dalam keterlibatannya dalam pengambilan keputusan memiliki hubungan kepuasan di mana bawahan bekerja.

2.3.4. Iklim sekolah
Iklim sekolah memiliki hubungan yang erat dengan iklim organisasi. Iklim orgnisasi adalah lingkungan psikologis dari suatu organisasi. Iklim organisasi juga berhubungan dengan persepsi karyawan, keinginan, serta lingkungan sosial dalam suatu organisasi (Arni Muhammad, 2004). Jadi iklim organisasa adalah situasi lingkungan kerja yang secara langsung atau tidak langsung dialami oleh setiap anggota organisasi dan mempengaruhi perilakunya.
Berkaitan dengan sekolah sebagai suatu organisasi, iklim sekolah adalah karakteristik dari keseluruhan lingkungan sekolah. Karakteristik internal terjadi karena adanya saling keterkaitan antara faktor-faktor personal, sosial, dan budaya yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam lingkungan sekolah. Jadi iklim sekolah meliputi aspek materi, sosial, sistem sosial, dan budaya organisasi.

2.3.5. Kinerja Guru
Usaha pengembangan kinerja guru malalui kepala sekolah yang perlu dilakukan untuk mencapai keefektifan sekolah adalah:
a. Pengembangan profesional yang berupa peningkatan kompetensi dan produktivitas penelitian pembelajaran.
b. Pengembangan ketrampilan tmbahan dalam pembelajaran, meliputi perencanaan pembelajaran, pengelolaan pembelajaran, penggunaan berbagai metodadan sarana pembelajaran, penilaian, serta keterampilan khusus pembelajaran dalam disiplin yang bersangkutan.
c. Pemahaman yang lebih baik terhadap peserta didik.
d. Peningkatan ketrampilan hubungan antar pribadi dengan peserta didik.
e. Prtumbuhan dalam jabatan.
f. Peningkatan motivasi dan kegairahan ataupeningkatan kepuasan intrinsik.
g. Peningkatn kesempatan untuk belajar satu sama lain.
h. Peningkatn komunikasi antar sejawat. (Piet A. Sahertian, 2000).

2.4. Manajemen Berbasis Sekolah dan Keefektifan Sekolah
Sejalan dengan pergeseran struktur kewenangan penyelenggaran pendidikan dalam MBS merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sistem manajemen pendidikan di sekolah. Pembangunan pendidikan yang selama ini lebih banyak didominasi oleh pemerintah sudah seharusnya dirombak karena terbukti kurang efektif, efesien, dan produktif. Sehubungan dengan itu, keberhasilan implementasi MBS dalam rangka desentralisasi pendidikan sedikitnya dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu efektivitas, efesiensi, dan produktivitas. Ketiga dimensi tersebut saling berkaitan satu sama lain dan pengaruh mempengaruhi.

2.4.1. Efektifitas
Dalam memaknai efektivitas setiap orang memberi arti yang berbeda, sesuai sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Dalam Daryanto, (1997) dikemukakan bahwa efektivitas berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) manjur atau mujarab, dapat membawa hasil. Jadi efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju. Bagaimana suatu oraganisasi berhasil memanfaatkan sumber daya dalam usaha partisifasi aktif dari anggota mewujudkan tujuan operasional.
Berdasarkan hal di atas dapat dikemukakan bahwa efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan adanya partisifasi aktif dari anggota. Dengan demikian, efektivitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana, dan sumber belajaruntuk mewujudkan tujuan sekolah. Memperhatikan dan memahami uraian diatas, maka barometer efektivitas dapat dilihat dari kualitas program, ketepatan penyusunan, kepuasan, keluwesan, dan adaptasi serta motivasi, semangat kerja, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, pendayagunaan sarana dan prasarana dan sumber belajar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.

2.4.2. Efesiensi
Efesiensi merupakan aspek yang sangat penting dalam manajemen berbasis sekolah umumnya dihadapkan pada masalah kelangkaan sumber dana, dan secara langsung berpengaruh terhadap kegiatan manajemen. Jika efektivitas membandingkan antara rencana dengan tujuan yang dicapai, maka efesiensi lebih difokuskan pada perbandingan antara input atau sumber daya dengan output. Suatu kegiatan dikatakan efesien jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal. Input pendidikan adalah sumber daya yang dugunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Sumber daya berkaitan dengan nilai, serta faktor manusia dan ekonomi. Adapun output atau keluaran adalah segala sesuatu yang dikelola dan dihasilkan di sekolah, yaitu berapa banyak yang dihasilkan dan sebepara baik sekolah dapat mengelolanya.
Keluaran tersebut dapat berupa perubahan perilaku baik dalam aspek kognitif, psikomotor maupun efektif, pada pengelola sekolah, peserta didik, kepala sekolah, guru, maupun pegawai lain yang ada di sekolah. Selain dianalisis dari komponen input dan output, maka efisiensi dapat dibedakan menjadi efisiens internal dn eksternal. Efisiensi internal menunjukkan perbandingan antara prestasi belajar dan masukan biaya pendidikan, sedangkan efisiensi eksternal dihubungkan dengan metoda cost-benefit analysis, yaitu perbandingan keuntungan finansial pendidikan, yang biasanya diukur dari penghasilan lulusan dengan dengan seluruh junglah dana yang dikeluarkan untuk pendidikannya. Dalam meningkatkan efisiensi MBS, maka analisis serta pengkajian data dan informasi perlu dilakukan secara terus menerus dan mendalam agar setiap unit kerja di sekolah dapat melaksanakan MBS yang efisien.

2.4.3. Produktivitas
Konsep produktivitas pada awalnya dikalikan dengan nilai ekonomis suatu kegiatan, yakni bagaimana mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya dan dana sekecil mungkin. Produktivitas dalam dunia pendidikan berkaitan dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan yang efektif dan efisien. Thomas (1982) mengemukakan bahwa produktivitas pendidikan dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu:
a. Meninjau produktivitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa besar layanan yang dapat diberikan dalam suatu proses pendidikan baik guru, kepala sekolah maupun pihak lain yang berkepentingan.
b. Meninjau produktivitas dari keluaran perubahan perilaku, yaitu dengan melihat nilai-nilai yang diperoleh peserta didik sebagai gambarn dari prestasi akademik yang telah dicapai dalam perioda belajar tertentu di sekolah.
c. Meninjau produktivitas sekolah dari keluaran ekonomis, yang berkaitan dengan pembiayaan layanan pendidikan di sekolah. Hal ini sangat berkaitan dengan cakupan harga layanan yang diberikan (pengorbanan atau cost) dan perolehan yang dihasilkan oleh layanan itu atau disebut peningkatan nilai baik.
Manajemen berbasis sekolah merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan (masyarakat) setempat. Pada MBS, sekolah dituntut untuk secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber baik kepada masyarakat maupun pemerintah.
Indikator penting mutu pendidikan yang banyak disepakati adalah ketercapaian tujuan pendidikan dan prestasi pembelajaran. Proposisi tentang berbagai variabel penting yang mempengaruhi efektivitas sekolah meliputi kompetensi kepala sekolah, motivasi kerja kelapa sekolah, supervisi pengajaran, iklim sekolah, kinerja kepala sekolah, dan kinerja guru. Dengan penerapan MBS diharapkan lebih membuka peluang untuk meningkatkan efektivitas sekolah secara keseluruhan.

III. PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut ditas , maka dapat ditarik bebarapa kesimpulan antara lain:
3.1.1. Memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan sumberdaya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, sekolah sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah. Sekolah dapat mengembangkan sendiri program-program sesuai kebutuhannya. Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah. Sekolah dapat melakukal persaingan sehat dengan sekolah lain untujk meningkatkan mutu pendidikan.

3.1.2. Sekolah dikatakan efektif apabila mengacu pada kinerja unit organisasi suatu lembaga. Kinerja lembaga dapat diperlihatkan melalui output lembaga tersebut, yang pada gilirannya diukur sesuai dengan prestasi rata-rata siswa pada akhir masa pendidikan formal mereka di lembaga tersebut. Efektifitas sekolah dipengaruhi oleh kompetensi kepala sekolah, motivasi kerja kepala sekolah, dan supervisi pengajaran yang dilakukannya.

3.1.3. Efektivitas manajemen berbasis sekolah, keberhasilan melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana, dan sumber belajaruntuk mewujudkan tujuan sekolah. Barometer efektivitas dapat dilihat dari kualitas program, ketepatan penyusunan, kepuasan, keluwesan, dan adaptasi serta motivasi, semangat kerja, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, pendayagunaan sarana dan prasarana dan sumber belajar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan ditas, maka dapat disampaikan beberapa saran antara lain:
3.2.1. Kepada pemerintah pusat agar tidak ragu-ragu lagi untuk menerapkan desentralisasi di bidang pendidikan.

3.2.2. Pada pemerintah Propensi, Kabupaten, Kota agar melaksanakan desentralisasi di bidang pendidikan sebagai amanat bukan beban, menyiapkan sarana dan prasana sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.

3.2.3. Masyarakat juga harus ikut aktif ambil bagian dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia.
















DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Manajemen Berbasis Sekolah. Direktorat Jendral Manajemen Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional.

Arni Muhammad, 2004. Komunikasi Organisasi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Departemen Pendidikan Nasional, 2002. Manajemen Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Fidler Brian, 2003. Strategic Management for School Development. Paul. Chapman Publishing a Sage Publication Compny: London- Thousand Oaks-New Delhi.

Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mangatas Tampubolon. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Bermutu Berdasarkan Sistem Broad Education dan High Based Education Menghadapi Tantangan Abad ke-21 di Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Nomor 034, Tahun ke-8

Piet A. Sahertian, 2000. Supervisi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Soetopo Hendiyat dan Soemanto Wasty, 1984. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Malang: Bina Aksara.

Slamet. PH, 2006. Manajemen Berbasis Sekolah, Bahan hasil Perolehan Internet.

Sam M. Chan, Tuti T. Sam. 2006. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Iklim Organisasi

ANALISIS IKLIM ORGANISASI, MOTIVASI BERPRESTASI

DAN KEPUASAN KERJA

I Ketut Bagiastra

Abstract: School organization climate is a reflection of common values, norms, rules, attitudes, and teachers’ concepts towards school organization. Organization climate needs to be more seriously handled by the head master because it influences teachers’ and clerks’ attitudes. Teachers have great moral responsibilities on the students’ success. Therefore, teachers are hoped to work harder by giving quality services to the users of the school (stakeholder). A one-factor support the teachers to work as good as possible are on working satisfaction. Teachers’ working satisfaction will be implemented through organization climate in which it is concerned on teachers’ prosperity, open-minded, and motivation achievement. Achievement motivation indicates to inner drive and effort of the teachers to act as good as possible to reach their wants or goals. Here, motivation itself is oriented on the process and it deals with the doer, goal, and the act of repay of service of the teachers’ performances. Teachers’ working satisfaction much depend on the payment they’ve got, working condition, reward, support from their colleagues, and successful in finishing their.

Key words: Organization climate, Achievement motivation, Working satisfaction.

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Mengajar adalah perilaku yang universal, artinya semua orang dapat melakukannya. Namun tidak semua orang memahami bagaimana mengajar yang efektif, bagaimana mengajar dapat menuangkan lebih banyak ilmu pengetahuan dan ketrampilan kepada para siswa. Namun setiap orang menyadari bahwa mengajar dapat juga menimbulkan kekecewaan-kekecewaan. Kepuasan dalam menjalankan tugas merupakan aspek penting bagi kinerja atau produktivitas seseorang, ini disebabkan sebagian besar waktu guru digunakan untuk bekerja. Di lingkungan sekolah, guru mengemban tugas sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar, guru memberikan pengetahuan (kognitif), sikap dan nilai (afektif), dan keterampilan (psikomotorik). Guru memiliki tugas dan tanggung jawab moral yang besar terhadap keberhasilan siswa, namun demikian guru bukanlah satu-satunya faktor penunjang keberhasilan siswa. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor perangkat kurikulum, faktor siswa sendiri, faktor dukungan masyarakat, dan faktor orang tua, sementara sebagai pendidik, guru harus mendidik para siswanya untuk menjadi manusia dewasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Sardiman ( 2006: 38) bahwa, dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa secara garis besar dapat dibagi dalam klasifikasi faktor intern ( dari dalam) diri si subjek belajar dan faktor ekstern (dari luar) diri si subjek belajar.

Guru dituntut untuk bekerja dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada pemakai sekolah (steak holder) seperti siswa, orang tua, dan masyarakat. Salah satu faktor yang menunjang guru untuk bekerja dengan sebaik-baiknya yaitu kepusan kerja. Artinya jika guru puas trheadap perlakuan organisasi (sekolah) maka mereka akan bekerja penuh semangat dan bertanggung jawab.

Kepuasan bekerja (job satisfaction) guru merupakan sasaran penting dalam manajemen sumber daya manusia, karena secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas kerja. Suatu gejala yang dapat membuat rusaknya kondisi organisasi sekolah adalah rendahnya kepuasan kerja guru dimana timbul gejala seperti kemangkiran, malas bekerja, banyaknya keluhan guru, rendahnya prestasi kerja, rendahnya kualitas pengajaran, indisipliner guru, dan gejala-gejala negatif lainnya. Sebaliknya kepuasan yang tinggi diinginkan oleh kepala sekolah karena dapat dikaitkan dengan hasil positif yang mereka harapkan. Kepuasan kerja yang tinggi menandakan bahwa sebuah organisasi sekolah telah dikelola dengan baik dengan manajemen yang efektif. Kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan kesesuaian antara harapan guru dengan imbalan yang disediakan oleh organisasi.

Mengingat kepuas dan kerja bagi guru merupakan hal yang sangat penting, karena menyangkut masalah hasil kerja guru yang merupakan salah satu langkah dalam meningkatkan mutu pelayanan kepada siswa. Ada beberapa alasan mengapa kepuasan kerja guru dalam tugasnya sebagai pendidik perlu untuk dikaji lebih lanjut antara lain:

Pertama: Guru memegang peranan yang begitu besar di dalam sebuah lembaga pendidikan. Tugas mereka bukan hanya sekedar memberikan pelajaran seperti yang diamanatkan kurikulum yang sedang berlaku, malah meliputi seluruh aspek kehidupan yang lain mungkin tidak tercantum dalam mata pelajaran secara nyata, tetapi meliputi materi pelajaran yang terkandung dalam kurikulum yang tersembunyi dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan bukan sekedar sebagai media dalam menyampaikan kebudayaan dari generasi ke generasi, melainkan suatu proses yang diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan kehidupan berbangsa yang baik. Semakin akurat guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin, tercipta, dan terbinanya kesiapan dan keadaan sebagai manusia pembangunan.

Kedua: Adanya fenomena mengenai penurunan kinerja guru, hal ini dapat terlihat dari guru yang mangkir dari tugas, guru yang mengajar saja tapi fungsi mendidiknya berkurang.

Ketiga: Peningkatan mutu pendidikan secara formal aspek guru mempunyai peranan penting dalam mewujudkannya, disamping aspek lainnya seperti sarana/prasarana, kurikulum, siswa, manajemen, dana pengadaan buku. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan pendidikan adalah pembelajaran yang memerlukan peran dari guru di dalamnya.

Berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi belajar siswa (36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%). Aspek yang terkait dengan guru adalah menyakut citra/mutu guru dan kesejahteraan. (Sidik, majalah komunikasi. Nomor 25/tahun VIII/2000). Tilaar (1999: 98) menyatakan peningkatan kualitas pendidikan tergantung banyak hal, terutama mutu guru. Dengan demikian jelaslah bahwa keberhasilan pendidikan yang terutama adalah faktor guru sebagai tenaga pendidik yang profesional. Kepuasan kerja guru itu bisa dilaksanakan dengan beberapa cara diantaranya adalah organisasi dapat membuat iklim organisasi yang berpihak pada kesejateraan guru, terbuka dan menekankan pada prestasi, bisa pula kepuasan ditingkatkan menggunakan faktor motivasi terutama motivasi berprestasi guru. Sardiman (2006: 85) menjelaskan bahwa, motivasi memiliki tiga fungsi antara lain: (1). Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan oleh guru. (2). Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat mnemberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan guru sesuai dengan rumusan tujuan. (3). Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Keempat: Otonomi daerah yang menumbuhkan kesadaran pentingnya pembangunan kualitas SDM di masyarakat adalah menjadi tugas Pemkab/Pemkot dan Depdiknas. Depdiknas berupaya menghasilkan SDM unggul yang dapat menjawab tantangan pembangunan, dan kualitas SDM akan dirasakan bagi keberlangsungannya pembangunan daerah. Keberhasilan otonomi daerah mempersyaratkan tersedianya SDM unggul untuk menggali dan mengembangkan potensi daerahnya. Kesempatan ini oleh pihak Pemkab/ Pemkot dapat digunakan untuk mengupayakan kepuasan kerja guru, karena dapat dijadikan sebagai sarana untuk peningkatan kualitas pendidikan.

Tilaar (dalam Sam M. Cham dan Tuti T. Sam, 2006), mengatakan bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Manajemen berbasis sekolah ini telah berhasil mengangkat kondisi dan memecahkan berbagai masalah pendidikan di beberapa negara maju, seperti Australia dan Amerika. Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu upaya mencapai keunggulan Pendidikan dan diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara mikro, meso, maupun makro.

Manajemen berbasis sekolah merupakan paradigma baru yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan (masyarakat) setempat. Pada manajemen berbasis sekolah, sekolah dituntut untuk secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggung jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas (Broad-Based Education) (Depdiknas, 2002).

Kepuasan dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satu diantaranya adalah iklim organisasi. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa para guru bekerja selain untuk mengharapkan imbalan baik material maupun non material namun mereka juga mengharapkan iklim yang sesuai dengan harapan mereka seperti terdapat keterbukaan dalam organisasi, terdapat perhatian, dukungan, penghargaan, pendapatan yang layak dan dirasa adil. Penciptaan iklim yang berorientasi pada prestasi dan mementingkan pekerja dapat memperlancar pencapaian hasil yang diinginkan.

Faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap kepuasan kerja adalah motivasi berprestasi. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa bekerja tanpa motivasi akan cepat bosan, karena tidak adanya unsur pendorong agar semangat kerja tetap stabil. Motivasi merupakan komoditi yang sangat diperlukan oleh semua orang termasuk guru. Motivasi diperlukan untuk menjalankan kehidupan, memimpin sekelompok orang dan mencapai tujuan organisasi. Motivasi berprestasi merupakan dorongan yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri guru untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin sehingga tujuan akan tercapai. Motivasi berprestasi bisa terjadi jika guru mempunyai kebanggan akan keberhasilan.

Tugas mengajar adalah tugas yang membanggakan dan penuh tantangan, sehingga guru-guru seharusnya mempunyai motivasi berprestasi. Guru sebagai tenaga kependidikan profesional harus memiliki persepsi filosofis dan ketanggapan yang bijaksana yang lebih mantap dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. ( Sardiman, 1987: 131). Jadi kompetensi seorang guru sebagai tenaga profesional kependidikan, ditandai dengan serentetan diagnosa, rediagnosa, dan penyesuaian yang terus menerus. Dalam hal ini di samping kecerdasan untuk menentukan langkah, guru harus juga sabar, ulet, dan telaten serta tanggap terhadap setiap kondisi, sehingga di akhir pekerjaannya akan membuahkan suatu hasil yang memuaskan dan dapat memberikan kepuasan kerja.

Tujuan yang ingin dicapai adalah: (a) Mengkaji secara teoritis tentang iklim organisasi. (b) Mengkaji secara teoritis tentang motivasi berprestasi guru. (c) Mengkaji secara teoritis tentang kepuasan kerja guru.

II. PEMBAHASAN

2.1. Iklim Organisasi

Manusia harus menyadari, bahwa dirinya adalah anggota dari satu dunia yang teratur dan mempunyai ketertiban sendiri. Segenap aspek kebudayaan manusia merupakan bentuk tata tertib yang dinamis yang mempunyai hukum-hukum serta otonomi sendiri. Manusia dengan akal budinya dan sebagai mahluk paling cerdas di muka bumi, berusaha mengelola bentuk satu orde yang tertib. Sehubungan dengan ini, manusia modern oleh. Whyte (dalam Kartono, 2006: 7), disebut sebagai organization man, sebab dia selalu sibuk mengorganisir sesuatu. Sedangkan Siagian (1978: 20) menyatakan organisasi adalah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, dan terikat secara formal dalam satu ikatan hierarki di mana selalu terdapat hubungan antara seorang atau sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan. Sedarmayanti (2000: 20) mengatakan bahwa, organisasi merupakan kumpulan manusia yang diintegrasikan dalam suatu wadah kerjasama untuk menjamin tercapainya tujuan yang telah ditentukan.

Menurut Robbins, (dalam Wahyudi, 2006: 11) bahwa organisasi pembelajaran (learning organization) mempunyai karakteristik dasar sebagai berikut: (1) Anggota organisasi mengesampingkan cara pikir lama, (2) belajar untuk saling terbuka; (3) Memahami cara kerja organisasi; (4) Menyusun perencanaan, visi yang dapat disepakati dan dipahami semua anggota; (5) Berinteraksi untuk melakukan aksi dalam rangka pencapaian visi organisasi.

Jadi organisasi merupakan sekumpulan orang yang tunduk pada konvensi bersama untuk mengadakan kerja sama dan interaksi guna mencapai tujuan bersama, dalam rangka keterbatasan sumber daya manusia dan sumber materiil. Kelompok-kelompok manusia itu di mana pun juga selalu hidup bersama dan bekerja secara kooperatif di pelbagai bidang kehidupan untuk mencapai tujuan, atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Anggota kelompok itu mungkin sedikit, mungkin pula banyak sekali jumlahnya dan semuanya perlu diatur secara tertib demi efisiensi kerja, dan demi maksimalisasi pencapaian tujuan. Sehubungan dengan itu, perlu didukung oleh iklim organisasi yang kondusip agar semua orang dapat bekerja maksimal.

Istilah iklim disini merupakan kiasan (metafora), yaitu suatu yang dapat memberikan gambaran yang gamblang pada tingkat kognitif, emosional, perilaku, dan menyatakan suatu bagian tertentu pada tindakan tanpa menetapkan perilaku sebenarnya. (Pace dan Faules, 2002: 1470). Iklim organisasi menggambarkan suatu kiasan bagi iklim fisik. Iklim organisasi mempengaruhi suasana, kinerja, emosional, dan perkembangan organisasi. Redding (dalam Pace dan Faules, 2002: 148) menyatakan bahwa iklim organisasi jauh lebih penting dari pada ketrampilan atau teknik-teknik komunikasi semata-mata dalam menciptakan suatu organisasi yang efektif. Jadi iklim organisasi sangat penting karena mengkaitkan konteks organisasi dengan konsep-konsep, perasaan-perasaan dan harapan-harapan anggota organisasi dan membantu menjelaskan perilaku anggota organisasi. Dengan mengetahui sesuatu tentang iklim suatu organisasi kita dapat memahami lebih baik apa yang mendorong anggota organisasi untuk bersikap dengan cara-cara tertentu.

Iklim tidak dapat disentuh namun ia ada seperti udara dalam ruangan berputar dan berpengaruh terhadap kejadian disuatu organisasi. Membahas tentang iklim organisasi, kita sebenarnya sedang membahas sifat-sifat atau ciri yang dirasa dalam lingkungan kerja dan timbul terutama karena kegiatan organisasi yang dilakukan secara sadar atau tidak, dan yang dianggap mempengaruhi tingkah laku. Dengan kata lain, iklim dapat dipandang sebagai ”kepribadian” organisasi seperti yang dilihat oleh para anggotanya. Iklim organisasi memiliki sifat-sifat yang membuatnya tampak bertumpangtindih dengan konsep budaya. Poole (dalam Pace dan Faules, 2002: 148 ) menjelaskan bahwa, secara keseluruhan tampaknya iklim lebih merupakan sifat budaya dari pada merupakan suatu pengganti budaya. Iklim organisasi yang baik dapat meningkatkan keefektifan organisasi seperti produktivitas, kualitas, kepuasan, dan vitalitas.

Litwin dan Stringers (2004: 13) memberikan dimensi iklim organisasi yang terdiri dari: (1) rasa tanggung jawab; (2) standard atau harapan tentang kualitas pekerjaan; (3) ganjaran atau reward; (4) rasa persaudaraan; dan (5) semangat Tim. Jadi iklim organisasi adalah konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan gaya hidup suatu organisasi, apabila gaya hidup itu dapat ditingkatkan, kemungkinan besar tercapai peningkatan prestasi kerja. Dengan demikian iklim organisasi sekolah adalah konsep sistem sekolah yang diwujudkan berdasarkan seperangkat nilai atau norma, kebiasaan yang ditunjang sarana dan prasarana. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan jelas antara iklim dengan kepuasan kerja. Khususnya ditemukan bahwa iklim yang lebih konsultatif, terbuka, dan mementingkan pekerja biasanya dihubungkan dengan sikap kerja yang lebih positif. (Steers, 1980: 114).

Iklim dapat mempengaruhi motivasi, prestasi dan kepuasan kerja, iklim mempengaruhi hal itu dengan membentuk harapan pegawai tentang konsekuensi yang akan timbul dari berbagai tindakan. Para pegawai mengharapkan imbalan, kepuasan, frustasi atas dasar persepsi mereka terhadap iklim organisasi. Iklim organisasi di sekolah bisa bergerak dari yang menyenangkan ke netral, sampai dengan tidak menyenangkan. Tetapi pada umumnya manajer (kepala sekolah), guru dan pegawai menginginkan iklim yang menyenangkan karena menyangkut keuntungan seperti prestasi yang lebih baik, kepuasan kerja dan dapat menimbulkan semangat kerja.

Para pegawai merasa bahwa iklim yang menyenangkan apabila mereka melakukan sesuatu yang bermanfaat dan menimbulkan perasaan berharga. Mereka sering kali menginginkan pekerjaan yang menantang, yang memuaskan secara intrinsik. Kebanyakan pegawai juga menginginkan tanggung jawab dan kesempatan untuk berhasil. Mereka ingin didengarkan dan diperlukan sebagai orang yang bernilai. Para pegawai merasa bahwa organissi benar-benar memperhatikan kebutuhan dan masalah mereka.

Unsur khas yang membentuk iklim yang menyenangkan adalah: (1) kualitas kepemimpinan; (2) kadar kepercayaan; (3) komunikasi, ke atas dan ke bawah; (4) perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat; (5) tanggung jawab; (6) imbalan yang adil; (7) tekanan pekerjaan yang nalar; (8) kesempatan; (9) pengendalian, struktur, dan birokrasi yang nalar; (10) keterlibatan pegawai, keikutsertaan. (Davis dan Newstrom. 2000: 85).

Variabel pertama yang dianggap mempengaruhi iklim organisasi ditemukan dalam struktur organisasi. Hal ini dapat kita perhatikan pada kenyataannya bahwa makin tinggi ”penstrukturan” atau suatu organisasi (yaitu semakin tinggi tingkat sentralisasi, formalisasi, orientasi pada peraturan, dan seterusnya) lingkungan akan terasa semakin kaku, tertutup, dan penuh ancaman. Dengan demikian makin besar autonomy dan kebebasan menentukan tindakan sendiri yang diberikan kepada individu dan makin banyak perhatian ditujukan kepada pekerjanya, akan makin baik (yaitu terbuka, penuh kepercayaan, bertanggung jawab) iklim kerjanya.(Steers, 1980: 22). Penerapan teknologi yang lebih dinamis akan mengalami kecendrungan kepada komunikasi yang lebih terbuka, kepercayaan, kreativitas, dan penerimaan tanggung jawab pribadi untuk penyelesaian tugas.

Kebijakan dan praktek manajemen juga dapat mempengaruhi iklim organisasi. Para manajer yang memberikan lebih banyak umpan balik, autonomy, dan identitas tugas bawahannya ternyata sangat membantu terciptanya iklim yang berorientasi pada prestasi, dimana para pekerja merasa lebih bertanggung jawab atas pencapaian sasaran organisasi. (Davis dan Neswtroom, 2000: 24). Jadi gaya manajemen pimpinan yang lebih mendukung pekerja dan lebih demokratis dalam keputusan akan mempengaruhi pekerjaan pegawai.

Komitmen organisasi adalah rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi), dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Komitmen merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. (Steers, Richard, M. 1980: 80).

Berdasarkan dari beberapa pendapat, hasil penelitian, dan kajian maka dapat ditegaskan bahwa, iklim organisasi sekolah adalah refleksi dari nilai-nilai umum, norma, aturan, sikap tingkah laku, dan perasaan guru terhadap organisasi sekolah. Tanggapan tersebut akibat terjadinya interaksi antara struktur organisasi yang terbuka, standar kinerja yang dinamis, rasa tanggung jawab guru, keterlibatan/keikutsertaan guru dalam organisasi, pengakuan terhadap hasil pekerjaan, gaya manajemen yang mendukung dan konsisten/komitmen dalam mengemban tugas.

2.2. Motivasi Berprestasi

Motif berprestasi yang dimiliki orang-orang yang terlibat dalam suatu organisasi turut menentukan tercapainya tujuan yang telah ditentukan. Motif berprestasi adalah suatu kebutuhan untuk dapat bersaing atau melampaui kecakapan (ability) dan merupakan dorongan dalam diri individu untuk mengatasi segala tantangan dan rintangan dalam upaya mencapai tujuan (Ikhwanuddin, l995: 113). Istilah motif sama dengan kata-kata: motive, motip, dorongan, alasan dan driving foce (Manullang, 2006: 165). Motif tenaga pendorong yang mendorong manusia untuk bertindak atau suatu tenaga di dalam diri manusia, yang menyebabkan manusia bertindak. ”Motives are the why’s of behavior”.

Kata motivasi berasal dari kata Latin ”Movere” yang berarti dorongan atau daya penggerak Selanjutnya diserap dalam bahasa Inggris motivation berarti pemberian motiv, penimbulan motiv atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan. Motif berprestasi memiliki arti yang sangat penting terhadap penampilan dan tingkah laku seseorang. Adanya motif berprestasi yang tinggi akan tercermin dalam segala gerak-gerik yang ditampilkannya pada waktu melakukan kegiatan. Hal demikian akan tercermin dalam penggunaan waktu yang dimilikinya, pemanfaatan peluang yang ada, tingkat usaha yang dilakukan dan juga dalam intensitas usahanya. Seseorang dikatakan memiliki motif berprestasi yang tinggi jika ia mampu menggunakan waktu untuk memikirkan cara mengerjakan sesuatu yang lebih baik, maupun mengatasi rintangan dalam usaha memperoleh hasil yang lebih baik.

Sardiman (2001: 92) menjelaskan motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motif merupakan daya penggerak dari dalam diri subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Sedangkan menurut ahli lain mengatakan bahwa motif diartikan sebagai sebab-sebab yang menjadi dorongan, tindakan seseorang, dasar pemikiran atau pendapat (Daryanto, 1997: 440). Hudoyo (1979: 56) mengatakan bahwa kekuatan pendorong yang ada didalam diri seseorang untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu disebut motif dan segala sesuatu yang berkaitan dengan timbul dan berlangsungnya motif itu disebut motivasi. Pemberian dorongan terhadap motif baik dari dalam maupun dari luar untuk melakukan tindakan guna mencapai tujuan dapat ditumbuh kembangkan. Motif berprestasi merupakan suatu kecendrungan untuk mengusahakan kegiatan tertentu dengan sebaik-baiknya guna mencapai suatu tujuan yang diinginkan.

Ikhwanuddin (1995: 142) memberikan beberapa batasan karakteristik motif berprestasi yang merupakan suatu kekuatan dalam diri seseorang untuk melakukan kegiatan-kegiatan antara lain : (a). Melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya (b). Menyelesaikan sesuatu yang sukar (c). Melakukan sesuatu dengan sukses (d). Mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha dan keterampilan (e) Menguasai, memanipulasi dan mengorganisasi obyek-obyek fisik manusia (f). Mengatasi hambatan-hambatan dan mencapai standar yang tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa motif merupakan suatu kekuatan yang berasal dari dalam diri yang harus dibangkitkan untuk menunjang perkembangan kinerja kearah yang lebih baik. Kinerja suatu organisasi akan memberikan hasil yang mengembirakan bila individu (guru-guru) memiliki motif berprestasi, sehingga mampu menggunakan waktunya dengan sebaik-baiknya demi mengerjakan sesuatu yang lebih baik dan mengatasi rintangan yang akan menghambat dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Motif berprestasi merupakan suatu kecendrungan untuk mengusahakan kegiatan tertentu dengan sebaik-baiknya atau lebih dari yang biasa dilakukan guna mencapai cita-cita keunggulan (Sardiman, 2001: 85).

Manullang, (2006: 169) menjelaskan bahwa moril yang tinggi cendrung untuk dihasilkan dalam suatu iklim motivasi yang tinggi dan produktivitas yang tinggi dihasilkan apabila tujuan-tujuan pribadi dan tujuan-tujuan organisasi berpadu dan apabila tujuan-tujuan pribadi tercapai melalui terwujudnya tujuan-tujuan organisasi. Penelitian motivasi yang dilakukan oleh William James dari Universitas Harvard seperti dikutif oleh Manullang, (2006: 169) menunjukkan bahwa karyawan-karyawan bekerja pada tingkat yang mendekati 80 sampai 90 persen dari kesanggupannya jika mendapat motivasi yang tinggi. Oleh karena itu motivasi adalah suatu faktor penentu pokok di dalam tingkat prestasi karyawan dan kemampulabaan perusahaan.

Agar sumber daya manusia dapat digerakkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi maka perlu dipahami motivasi mereka dalam bekerja terutama untuk para guru adalah penekanan pada motivasi kerja mereka. Pemberian motivasi kepala sekolah kepada guru maupun motivasi yang timbul dari diri guru sendiri untuk bekerja sambil berprestasi akan mampu mencapai kepuasan kerjanya, tercapai kinerja organisasi yang maksimal dan tercapai tujuan organisasi. Pimpinan perlu melakukan motivasi bawahannya karena: 1) Untuk mengamati dan memahami tingkah laku bawahan; 2) Mencari dan menentukan sebab-sebab tingkah laku bawahan; dan 3) Memperhitungkan, mengawasi, dan mengubah serta mengarahkan tingkah laku bawahan. (Rois Arifin dkk, 2003: 58).

Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mendorong gairah kerja bawahan, agar mereka mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan organisasi, (Hasibuan, 1996: 89). Motivasi dapat diartikan sebagai suatu proses psikologi yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Proses psikologi timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut intrinsic dan extrinsic.

Tingkah laku bawahan dalam kehidupan organisasi pada dasarnya berorientasi pada tugas, artinya, bahwa tingkah laku bawahan biasanya didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan harus selalu damai, diawasi, dan diarahkan dalam kerangka pelaksanaan tugas dalam mencapai tujuan organisasi. (Wahjosumidjo, 1984: 50). Helleriegel dan Slocum (dalam Sujak, 1990: 249) mengklasifikasikan tiga faktor utama yang mempengaruhi motivasi meliputi perbedaan karakteristik individu, perbedaan karakteristik pekerjaan, dan perbedaan karakteristik lingkungan kerja atau organisasi.

Menurut Mc. Donald motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya ”feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan (Sardiman 2006: 73). Berdasarkan pendapat tersebut terdapat tiga elemen penting motivasi antara lain: 1) Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi di dalam sistem ”neurophysiological” yang ada pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan energi manusia (walaupun motivasi muncul dari dalam diri manusia), penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia. 2) Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa/”feeling”, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia. 3) Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan.

Sardiman (2006: 84) menjelaskan bahwa motivasi memiliki tiga fungsi antara lain: 1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. 2) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. 3) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Disamping ketiga fungsi tersebut motivasi juga memiliki fungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Menurut Herzberg terdapat lima faktor sebagai motivator-motivator yang mendatangkan kepuasan dalam bekerja antara lain keberhasilan pelaksanaan, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, dan pengembangan, Manullang, (2006: 177).

Hasibuan, (1996: 152) menjelaskan bahwa motivasi memiliki beberapa tujuan antara lain: (1) Mendorong gairah dan semangat kerja bawahan, (2) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan, (3) Meningkatkan produktivitas kerja karyawan, (4) Mempertahankan loyalitas dan kesatabilan karyawan perusahan; (5) Meningkatkan disiplin dan menurunkan tingkat absensi karyawan; (6) Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik; (7) Meningkatkan kreatifitas dan partisipasi karyawan; (8) Meningkatkan kesejahteraan karyawan; (9) Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi harus memusatkan pada faktor-faktor yang menimbulkan atau mendorong aktivitas-aktivitas seseorang, faktor-faktor tersebut mencakup kebutuhan dan motif-motif. Motivasi berorientasi pada proses dan berhubungan dengan pelaku, arah, tujuan, dan balas jasa perilaku yang diterima atas kinerja.

2.3. Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk pada sikap umum seseorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu, seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu. Kepuasan menggambarkan evaluasi atas suatu keadaan internal afektif, reaksi afektif atas meningkatnya jumlah hasil yang diinginkan guru-guru sebagai hasil pekerjaan mereka. Kepuasan merupakan sebuah konsep yang biasanya berkenaan dengan kenyamanan, kenyamanan memiliki kecendrungan dalam hal ini kadang-kadang meneyebabkan guru lebih menyukai cara-cara pelaksanaan terbaru.

Rivai (2006: 249) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri, dan hubungan sosial individu di luar kerja. (Pace dan Faules, 2002: 162). Hasil penelitian Herzberg dan kawan-kawan menunjukkan bahwa manusia mempunyai dua kumpulan kebutuahn, yakni yang pertama yang berkaitan dengan kepuasan kerja dan yang kedua yang berkaitan dengan ketidak puasan kerja, (Manullang, 2006: 177).

Kepuasan kerja pada dasarnya adalah rasa aman (security feeling) dan mempunyai segi-segi: 1) Segi sosial ekonomi (gaji dan jaminn sosial), 2) Segi sosial psikologis (kesempatahn untuk maju, kesempatan mendapatkan pekerjaan, berhubungan dengan masalah penghargaan, dan berhubungan dengan pergaulan antara karyawan dengan karyawan dan karyawan dengan atasannya. Sementara itu faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja seseorang adalah kedudukan, pangkat dan jabatan, masalah umur, jaminan finansial dan jaminan sosial, dan mutu pengawasan.

Dimensi kepuasan kerja memiliki lima karakteristik penting antara lain: (1) Pembayaran: suatu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari pembayaran; (2) Pekerjaan: sampai sejau mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan untuk menerima tanggung jawab; (3) Kesempatan promosi: adanya kesempatan untuk maju; (4) Penyelia: kemampuan penyelia untuk memperlihatkan ketertarikan dan perhatian kepada pekerja; (5) Rekan sekerja: sampai sejauh mana rekan sekerja bersahabat, kompeten dan mendukung.

Perkembangan aliran perilaku organisasi ditandai dengan pandangan dan pendapat baru perilaku manusia dan sistem sosial sebagai berikut: (1) unsur manusia adalah faktor kunci penentu sukses atau kegagalan pencapaian organisasi; (2) organisasi harus menciptakan iklim (climater) yang kondusip yang memungkunkan karyawan dapat memenuhi kebutuhan; (3) komitmen dapat dikembangkan melalui partisipasi dan keterlibatan para karyawan; (4) pekerjaan setiap karyawan harus disusun yang memungkinkan dapat mencapai kepuasan diri dari pekerjaan yang dilakukan; (5) pelaksanaan evaluasi didasarkan pada merit sistem sehingga memenuhi rasa keadilan dan memuaskan semua pihak. (Wahyudi, 2006: 13).

Salah satu masalah yang paling serius yang menimpa anggota-nggota organisasi adalah masalah stres. Stres yang berkaitan dengan pekerjaan secara ajeg menunjukkan bahwa stres menimbulkan pengaruh yang merusak dan berbahaya bagi kesehatan jasmani dan rohani pekerja. Heaney dan van Ryn (dalam R. Wayne Pace dan Don F. Faules 2002: 342) menjelaskan bahwa stress okupasional berkaitan dengan efek jangka panjang-pendek seperti kecemasan kerja, ketegangan kerja, dan kepuasan kerja. Ini tentu saja merupakan beban berat bagi kesejahteraan pribadi dan organisasi.

Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja yang biasa terjadi pada dunia kerja/industri, yaitu: (1) Usia. Ketika para pekerja makin bertambah lanjut usianya. Mereka cenderung lebih puas dengan pekerjaannya. Karyawan yang lebih muda cenderung kurang puas karena berpengharapan tinggi, kurang penyesuaian dan berbagai sebab lain; (2) Tingkat pekerjaan. Orang-orang dengan pekerjaan tingkat lebih tinggi cendrung merasa lebih puas dengan pekerjaan mereka. Mereka biasanya memperoleh gaji dan kondisi kerja lebih baik, dan pekerjaan yang dilakukan memberi peluang untuk merasa lebih puas; (3) Ukuran organisasi. Pada saat organisasi semakin besar, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kepuasan kerja cendrung agak menurun apabila tidak diambil tindakan perbaikan untuk mengimbangi kecendrungan itu. (Davis dan Neswtroom, 2000: 109).

Dalam dunia pendidikan guru-guru yang sudah berumur memiliki kecedrungan lebih puas dalam bekerja dibanding dengan guru-guru yang masih muda, karena harapan tidaklah setinggi jika dibanding dengan guru-guru yang masih muda. Guru yang mendapat jabatan tambahan, tugas tambahan di sekolah akan lebih puas dalam bekerja dibanding dengan guru-guru yang hanya memperoleh tugas mengajar saja tanpa tambahan tugas/jabatan lain, hal ini disebabkan oleh karena guru yang memperoleh jabatan/tugas tambahan tentu lebih banyak tunjangannya, disamping ia merasa dihargai dan diperlukan dalam organisasi/sekolah. Selanjutnya sekolah-sekolah yang besar dengan jumlah guru yang banyak akan membuat kepuasan kerja guru menjadi kurang, hal ini desebabkan semakin besar organisasi semakin banyak guru akan semakin rumit mengelola organisasi tersebut.

Ketidakpuasan seseorang dalam pekerjaannya dapat disebabkan karena kesalahan dalam mengkomunikasikan keinginan dan adanya kebutuhan serta nilai-nilai kepada orang lain. (Wahyudi, 2006: 35). Pendapat lain mengatakan bahwa kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: (1) Balas jasa yang adil dan layak; (2) Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian; (3) Berat ringannya pekerjaan; (4) Suasana dan lingkungan pekerjaan; (5) Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan; (6) Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya; (7) Sifat pekerjaan monoton atau tidak. (Malayu S. P. Hasibuan, 2001: 203).

Berdasarkan beberapa pendapat dan kajian diatas maka dapat ditarikl kesimpulan bahwa kepuasan kerja guru adalah rasa senang maupun rasa tidak senang berdasarkan imbalan yang diterima, kondisi kerja, perolehan penghargan, dukungan dari rekansejawat, dan keberhasilan menyelesaikan pekerjaan. Guru-guru yang merasa puas akan pekerjaannya akan memiliki sikap yang positif dengan pekerjaannya, hal ini akan membangkitkan motivasi untuk menyelesaikan pekerjaan sebaik-baiknya. Sebaliknya adanya kemangkiran, hasil kerja yang kurang baik, mengajar kurang bergairah, pencurian, presatasi kerja yang tidak memuaskan, dan perpindahan guru merupakan akibat dari ketidak puasan guru atas perlakuan organissi terhadap dirinya.

III. SIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain:

3.1. Iklim organisasi sekolah adalah refleksi dari nilai-nilai umum, norma, aturan, sikap tingkah laku, dan perasaan guru terhadap organisasi sekolah. Tanggapan tersebut akibat terjadinya interaksi antara struktur organisasi yang terbuka, standar kinerja yang dinamis, rasa tanggung jawab guru, keterlibatan/keikutsertaan guru dalam organisasi, pengakuan terhadap hasil pekerjaan, gaya manajemen yang mendukung dan konsisten/komitmen dalam mengemban tugas.

Iklim organisasi yang sehat akan meningkatkan motivasi berprestasi guru dengan dukungan iklim yang berpihak pada guru, maka guru diharapkan merasa tertantang untuk bekerja yang berorientasi pada prestasi. Iklim yang berorientasi pada prestasi, dimana para pekerja merasa lebih bertanggung jawab atas pencapaian sasaran organisasi.

3.2. Motif berprestasi adalah suatu kebutuhan untuk dapat bersaing atau melampaui kecakapan (ability) dan merupakan dorongan dalam diri individu untuk mengatasi segala tantangan dan rintangan dalam upaya mencapai tujuan. Manajer (kepala sekolah) memegang peranan penting dalam menumbuhkan motivasi guru-guru. Karakteristik motif berprestasi yang merupakan suatu kekuatan dalam diri seseorang untuk melakukan kegiatan-kegiatan.

3.3. Kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Kepuasan kerja guru adalah rasa senang maupun rasa tidak senang berdasarkan imbalan yang diterima, kondisi kerja, perolehan penghargan, dukungan dari rekan sejawat, dan keberhasilan menyelesaikan pekerjaan.

Guru-guru yang merasa puas akan pekerjaannya akan memiliki sikap yang positif dengan pekerjaannya, hal ini akan membangkitkan motivasi untuk menyelesaikan pekerjaan sebaik-baiknya. Sebaliknya adanya kemangkiran, hasil kerja yang kurang baik, mengajar kurang bergairah, pencurian, presatasi kerja yang tidak memuaskan, dan perpindahan guru merupakan akibat dari ketidak puasan guru atas perlakuan organissi terhadap dirinya.

3.4. Produktifitas dan tujuan organisasi dapat diwujudkan melalui interaksi antara karakteristik individu yaitu kebutuhan, sikap dan minat yang mengarah pada pencapaian prestasi, karakteristik pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang individu serta karakteristik organisasi yang berpihak pada keberhasilan pekerjaan. Pekerjaan mengajar diharapkan dapat menjadi motivasi pada diri seorang guru untuk menunjukkan hasil pekerjaannya yang berasal dari dalam dirinya. Guru yang memiliki motivasi kuat dalam melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan mewujudkan produktivitas yang tinggi, hal ini diharapkan dapat menimbulkan kepuasan kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Anomin. (2006). Manajemen Berbasis Sekolah. Direktorat Jendral Manajemen Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional.

Arifin Rois dkk. (2003). Perilaku Organisasi. Malang: Bayu Media.

Daryanto. (1997). Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo.

Davis K. dan Newstrom J. (2000). Perilaku Dalam Organisasi. Jakarta: Erlangga. Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional.

Gordon Thomas. (1990). Guru Yang Efektif. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Hasibuan, S. P. Melayu. (1996). Manajemen Dasar Pengertian dan Masalah. Jakarta: PT Gunung Agung.

Hudoyo, Herman. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Sekolah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Irianto Agus. (2006). Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Kencna Prenada Media.

Kartono Kartini. (2006). Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Manullang Marihot Amh. (2006). Manajemen Personalia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Muhammad Ami. (1996). Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Nurgiyantoro Burhan, Gunawan, Marzuki. (2002). Statistik Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univerity Press.

Pace, R. W dan Faules, D. F. (2002). Komunikasi Organisasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Rivai Veithzal. (2006). Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Riyanto Yatim. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan Kualitatif dan Kuantitatif. Surabaya: Unesa University Press.

Sardiman, A. M. (1987). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sardiman, A. M. (2006). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sedarmayanti, 2000. Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi Untuk Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan. Bandung: Mandar Maju.

Siagian Sondang P. (1978). Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung.

Steers Richard M.. (1980). Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga.

Steers, Richard. M. (1980). Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga.

Sujak Abi. (1990). Kepemimpinan Manajer. Jakarta: Raja wali Pers.

Surakhmad Winarno. (1986). Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito.

Tilaar H.A.R,. (1999). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspekktif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia.

Wahjosumidjo. (1984). Kepemimpinan dan Motivasi Jakarta: Ghalia Indonesia.

Wexley, Kenneth N, dan Gary A. Yukl. Organizational Behaviour and Personnel Psychology, Penerjemah Muh. Shobaruddin. (1992). Jakarta: Rineka Cipta.