Rabu, 28 Desember 2011

WC Umum

Pengelolaan dan Hygiene Sanitasi Toilet Umum
di Kawaasan Wisata Suranadi
Lombok Barat

PENDAHULUAN
Toilet merupakan salah satu sarana sanitasi yang paling vital. Sarana toilet umum merupakan salah satu jenis toilet yang diperuntukkan untuk masyarakat umum yang berkunjung ke suatu tempat. Sering kali disebutkan bahwa toilet umum adalah toilet ketika jauh dari rumah. Dengan demikian pengguna toilet umum akan sangat beragam dan senantiasa berganti. Sebagai akibatnya, toilet merupakan tempat yang potensial sebagai sarana penyebaran penyakit bila sanitasi dan higiene-nya tidak dipelihara dengan baik. Kondisi toilet di Indonesia masih dianggap sebagai hal tabu, dan diremehkan karena memang keadaannya yang kurang diperhatikan. (Untung Suotomo, Triesna Wacik Bangga Jadi Miss Toilet, Bandara, edisi 25, Tahun II, 16-30 September 2010). Selanjutnya dijelaskan, toilet bagi sebagian besar masyarakat Indonesia di masa lalu selalu dianggap sebagai suatu barang yang menjijikkan, kotor, dan selalu diremehkan sebagai sebuah hal yang terbelakang karena membicarakan ini masih dianggap tabu sehingga kebersihannya pun terbelakang. Namun kini, jangan coba-coba anggap remeh karena bisa-bisa citra bangsa ini akan buruk. (Untung Sutomo, Angkat Citra Indonesia, Bandara, edisi 25, Tahun II, 16-30 September 2010).
Perkembangan globalisasi yang sangat pesat juga berdampak pada mobilisasi perorangan yang sangat tinggi, baik dari segi jarak travel yang semakin beragam, juga dibarengi dengan frekuensi berpergian yang semakin tinggi. Hal ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan sarana umum di luar tempat tinggal, dan toilet termasuk salah satu yang terpenting. Pada tahun 2001, telah dibentuk World Toilet Organisation yang bertujuan untuk merangkul pihak-pihak yang peduli terhadap permasalahan kesehatan, kebersihan dan lingkungan hidup. Di Indonesia sendiri telah dibentuk Asosiasi Toliet Indonesia atas prakarsa Naning Adiwoso (ATI, 2006), dan telah dicanangkan Gerakan Nasional Toilet Umum Bersih pada tanggal 17 Februari 2006. Sebagai kelanjutannya telah diberikan penghargaan kepada Toilet Bersih Lingkungan Bandara kepada Bandara Ngurah Rai, Denpasar pada bulan September 2007 (Harry, 2007). Menteri Kebudayaan dan Pariwisata telah berencana untuk melanjutkan penilaian terhadap kebersihan toilet tidak hanya di lingkungan bandara tetapi juga di tempat-tempat wisata. Toilet bersih adalah cermin jatidiri suatu bangsa. Toilet umum bersih bukan saja memasyarakatkan program Sadar Wisata, namun akan menjadi sarana peningkatan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya kebersihan. (Koko Sudjatmiko, Toilet bersih Cermin Jatidiri Bangsa, Bandara, edisi 25, Tahun II, 16-30 September 2010).
Nusa Tenggara Barat khususnya Lombok merupakan salah satu daerah tujuan wisata, hal ini sangat ditunjang dengan beragamnya objek pariwisata yang ada di Lombok dengan fasilitas pariwisata lainnya.
Diantaranya adalah fasilitas akomodasi dengan fasilitas konferensi yang lengkap, wisata budaya yang unik serta wisata alam yang menakjubkan, yang semuanya dapat dijumpai di dalam satu pulau yang kecil ini. Namun dilain pihak, sarana toilet umum di Lombok masih dapat dikatakan belum optimal dalam hal penyediaan, pemeliharaan, dan hygiene dan sanitaninya. Sehingga fasilitas akomodasi di Lombok yang berbintang saat ini belum sebanding dengan kualitas fasilitas toilet umum di kawasan tujuan wisata yang justru memberikan citra positif terhadap wisatawan. Menurut Triesna Wacik (dalam Untung Sutomo, Angkat Citra Indonesia, Bandara, edisi 25, Tahun II, 16-30 September 2010). Toilet bukan sekadar ruangan sisa di belakang rumah, persepsi mengenai toilet harus diubah. Toilet adalah bagian hidup yang perting. Kalau toilet diletakkan pada tempat bagus, kering, harum dan ditata dengan artistic maka hidup kita lebih nyaman dan lengkap. Toilet bagian dari kebudayaan kita, wajah toilet adalah wajah kita, sebagai bangsa Indonesia.

Kualitas ketersediaan dan pengelolaan toilet umum sangat tergantung oleh banyak factor internal yaitu pemilik dan sistem pengelolaan, maupun ekternal yaitu pengguna toilet, masyarakat sekitar dan peraturan pendukung. Faktor-faktor tersebutlah yang nantinya perlu dipertimbangkan untuk pengembangan dan perbaikan sistem pengelolaan toilet. Sejak lima tahun lalu hingga kini, melalui salah satu program Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata yang gencar melakukan sosialisasi toilet umum bersih, toilet kini menjadi barang berharga yang cukup diperhatikan kebersihannya, bahkan interiornya pun dibuat sebersih dan senyaman mungkin. Mengapa hal itu terjadi, karena toilet menurut Kemenbudparmenjadi bagian penting bagi sector pariwisata.

Fungsi Dan Peran Toilet Umum
Aktivitas berwisata dapat didefinisikan sebagai aktifitas berpergian ke tempat tujuan wisata untuk alasan rekreasi atau relaksasi. Dengan demikian, selama berwisata, wisatawan akan berada jauh dari rumah dalam waktu yang relatif lama. Selama berada di luar rumah, maka wisatawan akan menggunakan fasilitas-fasilitas di tempat umum untuk menggantikan fasilitas yang tersedia di tempat tinggalnya. Fasilitas tersebut termasuk sarana toilet. Dengan tingkat mobilitas masyarakat yang semakin tinggi, aktivitas berwisata juga meningkat pesat, sebagai akibatnya, pengguna toilet umum juga akan bertambah. Aktivitas berwisata baik itu dalam rombongan ataupun perorangan umumnya akan merencanakan perjalanan berkeliling di suatu tempat dalam satu hari sebelum kembali ke tempat mereka menginap. Hal ini juga yang membuat keharusan akan kesediaan toilet umum yang baik di daerah pariwisata. Perkembangan industri pariwisata juga menambah jumlah pekerja yang bergerak di industri tersebut seperti pemandu wisata, masyarakat pedagang di tempat wisata, dan sopir kendaraan wisata, yang berarti tambahan jumlah pengguna toilet umum.
Toilet merupakan fasilitas pariwisata yang penting, beberapa studi telah menunjukkan bahwa toilet dapat berperan dalam penyebaran mikroorganisme penyebab penyakit gastro-enteritis, diare, kolera dan disentri. Di toilet umum, banyak pengguna dengan berbagai latar belakang menggunakan fasilitas toilet umum yang sama. Pengguna bisa saja wisatawan dengan latar belakang prilaku higiene yang baik atau mungkin juga memiliki hygiene yang buruk, seperti sopir kendaraan umum dengan kebiasaan tidak mencuci tangan, wanita dengan anak-anak, ibu hamil, orang tua, dan lain sebagainya. Toilet sebagai sarana pembuangan kotoran manusia yang
potensial mengandung mikroorganisme patogen, penggunaan toilet bersama mengakibatkan tingginya resiko penyebaran kuman tersebut melalui pertukaran cairan tubuh dan sentuhan pada
peralatan di toilet umum atau disebut dengan cross contamination.
Setiap pengguna toilet mempunyai potensi membawa kuman ke toilet ataupun beresiko memperoleh kuman penyakit dari toilet. Walaupun toilet terlihat bersih, tidak menutup kemungkinan sarana di toilet seperti handle pintu, keran air, closet, tempat sabun dan sebagainya dapat mengandung mikroorganisme patogen dari pengguna sebelumnya. Kualitas toilet umum di suatu daerah tidak saja berkontribusi dalam penyebaran penyakit, tetapi juga menggambarkan tingkat keberadaban masyarakat daerah tersebut (Greed, 2006). Menurutnya sarana toilet umum sebuah kota sangat berpengaruh untuk menciptakan kota yang berkelanjutan (sustainable), aksesibel dan inclusive.

KETERSEDIAAN DAN PENGELOLAAN TOILET SAAT INI
Lombok memiliki beberaapa tempat tujuan wisata yang terdiri dari Pura (tempat ibadah umat Hindu), pantai, pegunungan, danau, lokasi peninggalan sejarah, keindahan alam, daerah konservasi alam dan pusat kerajinan. Beberapa tempat tujuan wisata di Lombok merupakan tempat wisata yang terkenal dan dikunjungi banyak wisatawan. Pada tempat-tempat tersebut, umumnya tersedia toilet umum yang cukup dan dikelola dengan cukup baik oleh pemerintah daerah setempat maupun bekerjasama dengan organisasi masyarakat. Namun untuk beberapa tempat tujuan wisata yang tidak terlalu ramai, jumlah fasilitas toilet yang tersedia di tempat tersebut sangat rendah dengan kualitas yang kurang baik atau bahkan tidak tersedia. Fasilitas toilet umum di kawasan wisata justru sering terabaikan baik ketersediaannya maupun kualitas kebersihannya. Untuk di beberapa kawasan wisata yang telah dilengkapi dengan fasilitas toilet umum, permasalahan yang muncul adalah rendahnya tingkat kebersihan akibat pengelolaan yang kurang baik maupun buruknya prilaku pengguna toilet. Di lain pihak, tempat wisata alam seperti pantai dan sumber mata air sudah mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat dalam hal penyediaan toilet. Sebagai contoh di kawasan wisata Suranadi, Narmada telah disediakan toilet umum oleh pemerintah desa setempat namun masih sangat sederhana.
Sistem pengelolaannya mengandalkan tarif pemakaian toilet untuk biaya pengelolaan dan pemeliharaan kebersihan. Akibatnya, fasilitas toilet yang dapat terbangun sangat terbatas baik dari segi kapasitas maupun kualitasnya.
Ketidaksempurnaan dalam manajemen pemeliharaan toilet serta diperparah dengan cara pakai toilet yang tidak semestinya oleh masyarakat pengguna akan berakibat pada rusaknya sarana toilet umum yang telah dibangun menggunakan biaya yang tidak sedikit. Permasalahan lain adalah ketersediaan toilet di sepanjang jalur transportasi utama yang menghubungkan daerah daerah tujuan wisata tersebut. Selama perjalanan, bukan tidak mungkin seorang wisatawan akan memerlukan toilet. Sampai saat ini, kebutuhan tersebut terkadang masih dapat dibantu dengan adanya toilet yang disediakan oleh stasiun pompa bensin disepanjang jalur tersebut. Ataupun, bila toilet memang tersedia, tanda (signage) yang menunjukkan keberadaan toilet tidak dibuat dengan jelas dan tidak sesuai dengan standar penandaan internasional.
Kebiasaan masyarakat Indonesia, terutama kaum pria yang sangat mudah melakukan buang air kecil tidak ditoilet (disemak-semak atau tempat lain), dapat menjadi salah satu factor pendukung rendahnya ketersediaan toilet atau dengan kata lain toilet umum tidak dianggap terlalu vital. Padahal, kaum wanita, orang tua, anak-anak dan kaum penyandang sangat membutuhkan fasilitas toilet yang baik untuk melakukan buang air ditempat umum. Kekurangtersediaan fasilitas toilet, rendahnya mutu kualitas serta kurang baiknya system pemeliharaan merupakan salah satu akibat karena tidak adanya peraturan yang dengan jelas mengatur mengenai penyediaan sarana toilet umum, standar mengenai desain serta manajemen pengelolaannya sehingga akan ditemui standar minimum kualitas toilet di lapangan. Ketiadaan peraturan mengenai kewajiban untuk menyediakan toilet umum ternyata juga menjadi factor utama rendahnya ketersediaan dan kualitas toilet umum.
Manajemen pengelolaan yang buruk tidak menjadi satu-satunya faktor yang berpengaruh pada buruknya kualitas dan kebersihan toilet. Faktor pengguna juga sangat menentukan. Toilet umum yang dibangun di Bali umumnya memang masih didisain sebagai toilet basah dalam artian air merupakan sarana utama untuk menyeka dan membersihkan bagian tubuh sehabis menggunakan closet. Dengan disain toilet basah, kebersihan toilet sangat sulit dijaga, karena lantai toilet akan selalu basah yang berakibat pada tertinggalnya kotoran dari alas kaki pengguna di lantai toilet. Tambahan pula bila closet duduk tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, maka kotoran alas kaki juga akan tertinggal pada tempat dudukan closet. Ketidakdisiplinan pengguna toilet untuk membuang sampah di tempat sampah dalam toilet juga menambah buruk tingkat kebersihan toilet.

REKOMENDASI MANAJEMEN PENGELOLAAN TOILET
Terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan pengadaan, sistem pengelolaan dan kualitas fasilitas toilet umum di daerah wisata dan juga tempat-tempat umum lainnya. Rekomendasi tersebut mencakup pembuatan peraturan mengenai toilet umum, strategi pengadaan toilet, manajemen pengelolaan, standar minimum toilet serta pendidikan dan promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran penggunaan toilet dalam menjaga kebersihan.
Peraturan Mengenai Toilet Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan yang dengan khusus mengatur tentang toilet umum dan kewajiban oleh pemerintah setempat untuk pengadaanya. Penyediaan sarana toilet umum untuk perkantoran telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 261/MENKES/SK/II/1998 Tentang : Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja. Namum dalam peraturan ini hanya diatur mengenai jumlah sarana dan keharusan memisahkan toilet berdasarkan gender, lebih dari itu tidak ada ketentuan lain mengenai toilet, apalagi toilet umum. Di Korea, terdapat sebuah peraturan: Act on Public Toilet, Law No. 7934, 2006 yang mengatur mengenai instalasi dan pengadaan serta pengelolaan higiene toilet umum untuk menunjang promosi nasional Korea tentang higiene dan kesejahteraan. Sedangkan setiap pemerintah kota (city council) di Australia mengeluarkan peraturan spesifik yang mengatur tentang manajemen pengelolaan toilet dan standar untuk toilet umum. Dan sebagai gambaran keseriusan pemerintahnya dalam mengelola toilet, untuk pemeliharaan toilet, di kota Boroondara, Victoria Astralia, pemerintahnya menganggarkan kurang lebih $7,600 atau setara Rp. 50 juta rupiah per toilet blok per tahun. Adanya peraturan yang mengatur mengenai sistem pengadan, pengelolaan, pembiayaan toilet yang jelas, akan sangat membantu dalam meningkatkan pelayanan suatu daerah dalam hal penyediaan toilet umum yang cukup dan dalam kondisi yang baik (Greed, 2006). Peraturan ini juga akan mengkondisikan semua pengelolaan dan pemeliharaan toilet umum berada di bawah control pemerintah daerah. Hal ini erat kaitannya dengan pemeliharaan asset pemerintah sehingga dapat dipergunakan dalam kondisi yang baik dalam jangka waktu yang lama yang berarti efisiensi penggunaan dana pemerintah. Pengadaan Toilet Pemerintah daerah mungkin memang pihak yang paling bertanggung jawab untuk menjamin tersedianya fasilitas toilet umum di suatu daerah dalam jumlah yang cukup. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua toilet umum harus dibangun dengan menggunakan biaya dan diatas tanah milik pemerintah. Untuk tempat-tempat wisata dan tempat umum yang dimiliki pemerintah, semua fasilitas di dalam tempat tersebut akan merupakan tanggung jawab pemerintah. Akan tetapi, keterbatasan lahan dan dana pemerintah Indonesia sudah sering dijadikan alasan utama atas kurangnya fasilitas umum. Karenanya tidak menutup kemungkinan pemerintah dapat bekerjasama dengan pihak swasta seperti perusahaan travel, hotel, restauran dan perusahaan terkait dalam industri pariwisata untuk membantu pembiayaan pembangunan toilet umum. Pemasukan di sektor pariwisata yang sangat tinggi, tidak akan mengurangi keuntungan pariwisata itu sendiri jika digunakan sebagian untuk pengadaan toilet umum yang memenuhi standar internasional, karena pada akhirnya hal ini justru akan berdampak positif terhadap jumlah kunjungan wisatawan.
Pemerintah dapat mewajibkan (melalui peraturan) kepada pemilik tempat-tempat umum swasta untuk menyediakan toilet dengan standar minimum sebuah toilet umum, dan tentu saja dengan biaya pihak pemilik. Sebagai contoh adalah pusat perbelanjaan, tempat tujuan wisata yang dimilki swasta, stasiun pompa bensin dan tempat umum lainnya. Pemerintah juga dapat menyisasati pengadaan toilet umum dengan menyediakan beberapa fasilitas toilet dan mobile (moving toilet) yang dapat dipergunakan untuk tempat-tempat dimana sering diadakannya acara
keramaian pada waktu-waktu tertentu.
Suatu analisis mengenai ketersediaan toilet dapat dilakukan dengan melihat distribusi keberadaan toilet umum pada peta kota. Dari peta distribusi tersebut dapat terlihat apakah toilet umum telah tersedia pada minimum radius tertentu. Ini juga dapat berfungsi untuk menganalisis apakah pengadaan toilet baru benar-benar diperlukan di suatu lokasi, yang dalam hal ini berusaha untuk menggunakan anggaran seefisien mungkin.
Manajemen Pengelolaan Toilet
Toilet umum yang telah disediakan tidak akan dapat berfungsi dengan baik bila tidak didukung dengan pemeliharaan yang berkesinambungan. Beberapa alternatif manajemen pengelolaan yang dapat dipilih untuk Bali adalah sebagai berikut:
1. Didirikannya perusahaan milik daerah yang khusus mengelola toilet umum.
Perusahaan ini akan mengelola toilet berdasarkan profit yang mereka peroleh dari biaya yang dipungut dari pengguna toilet. Di Cina, sistem ini direkomendasikan dengan menggabungkan tawaran pengelolaan toilet dan sampah sekaligus untuk memperoleh keuntungan bagi pengelola yang lebih besar (World Bank, 2006).
2. Toilet umum dikontrakkan ke pada pengelola perorangan, pengusaha kecil maupun LSM. Dalam hal ini pihak pengelola membayar sejumlah uang kontrak kerjasama kepada pemerintah setiap tahunnya, dan kelebihan pemasukan bersih merupakan keuntungan yang diperoleh pengelola. Alternatif lain, pemasukan bersih dibagi dengan sistem bagi hasil antara pengelola dan pemerintah daerah.
3. Pemerintah daerah menganggarkan dari pendapatan pajak industri pariwisata untuk biaya pemeliharaan toilet. Sistem ini sangat diperlukan untuk tempat-tempat dengan jumlah kunjungan sedikit yang berarti tidak memperoleh keuntungan yang cukup untuk memelihara toilet sepanjang tahun.
4. Pemerintah daerah dan masyarakat setempat bermusyawarah untuk menentukan bentuk kerjasama dalam hal pengelolaan toilet umum. Hasil kesepakatan ini akan mengurangi resiko pengerusakan fasilitas toilet oleh masyarakat, karena masyarakat ikut dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang membangun rasa memiliki fasilitas tersebut oleh masyarakat.
Jika toilet umum akan dikelola bukan oleh pemerintah atau bekerjasama dengan masyarakat maupun pihak swasta, secara garis besarnya terdapat tiga hal penting untuk menentukan sistem manajemen pengelolaan toilet umum di tempat umum, yaitu: menguntungkan, berkesinambungan dan diterima oleh masyarakat setempat. Sistem pengelolaan yang dipilih sebaiknya memang menguntungkan bagi pihak pengelola yang merupakan daya tarik utama bagi
pengelola untuk mau mengelola toilet. Dan sistem pengelolaan yang dipilih juga dapat menjamin
bahwa terdapat sistem pengawasan yang rutin sehingga pihak pengelola akan melakukan pekerjaannya dengan serius dan berkesinambungan. Partisipasi masyarakat, dalam hal ini rasa emiliki oleh masyarakat akan sangat membantu terpeliharanya sarana toilet. Keterlibatan masyarakat untuk menentukan apakah sarana toilet umum yang dibangun pemerintah memang benar-benar diperlukan dan bukan dengan tujuan mengurangi pendapatan masyarakat dari penyewaan toilet, dengan sendirinya akan mengarahkan mind set masyarakat bahwa hygiene sarana yang disediakan adalah tujuan untamanya.
Standar Minimum Toilet Umum
Selain manajemen pengelolaan toilet umum yang harus dipastikan berkesinambungan, sebuah standar mengenai jumlah, lokasi, desain, material, visibilitas, aksesibilitas dan kemudahan pemeliharaan juga sangat diperlukan untuk menjamin toilet umum yang tersedia memenuhi syarat kelayakan, mudah digunakan dan dipelihara. Disamping pertimbangan utama toilet umum yaitu kemudahan pemeliharaan higiene sarana dan pencegahan kontaminasi silang oleh pengguna toilet, beberapa pertimbangan standar minimum toilet umum diantaranya adalah konfigurasi toilet yang meliputi pembedaan gender atau tidak, mengakomodasi pengguna dengan cacat fisik, lokasi toilet mudah terlihat dan terjangkau. Toilet juga didisain dengan pertimbangan mengurangi tindak kejahatan di toilet, sebagai contoh toilet dengan lokasi yang tak terlihat cenderung menarik prilaku kejahatan terhadap pengguna toilet. Life cycle cost management juga menjadi pertimbangan penting karena akan menyangkut biaya operational yaitu, penyediaan fasilitas, pemeliharaan, pengantian barang habis pakai, pembersihan, pengawasan, pembukaan dan penutupan fasilitas. Isu lingkungan sebaiknya mendapat perhatian untuk mendorong disain, konstruksi dan pengoperasian toilet yang ramah lingkungan. Salah satu syarat penting yang juga harus dipenuhi toilet umum adalah adanya tanda penunjuk tentang lokasi toilet dan tanda pada toilet itu sendiri. Tanda tersebut sebaiknya bersifat univessal yang berarti dimengerti oleh orang banyak dan mudah dilihat yang berarti terletak pada daerah ramai dan eye catching. Pada sarana toilet sebaiknya disediakan informasi nomor telepon yang harus dihubungi bila terdapat keluhan atau masalah sehubungan dengan toilet tersebut.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada pengunjung dan masyarakat umum, sebainya lokasi toilet juga disajikan pada peta-peta umum seperti penyajian informasi lokasi stasiun pompa bensin, restoran, rumah sakit, hotel, pertokoan dan sebagainya. Pada peta toilet yang lebih detail, sebaiknya diberikan keterangan alamat jelas lokasi toilet, jam operasional toilet dan apakah tersedia fasilitas untuk penyandang cacat. Salah satu peta toilet yang telah dibuat berbasis web dapat dilihat di website The National Public Toilet Map, Australia http://www.toiletmap.gov.au/.
Saat ini sangat disadari bahwa kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan toilet dan menggunakan toilet dengan baik dan benar masih sangat kurang. Karena itu suatu upaya promosi kesehatan mengenai cara pemakaian toilet yang baik dan benar serta yang dapat mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya untuk menjaga kebersihan toilet untuk kepentingan bersama sangat diperlukan. Bentuk promosi kesehatan seperti kartun humor yang disesuaikan dengan budaya setempat dapat dijadikan pilihan. Sebagai contoh bentuk promosi kebersihan toilet yang dibuat oleh pemerintah Singapura dikemas dalam gambar yang menarik dan humoris.

SIMPULAN
Untuk menunjang perkembangan pariwisata di Pulau Bali dengan menjamin keamanan kesehatan pengunjung dan masyarakat lokal, penambahan jumlah toilet umum di tempat wisata serta perbaikan system manajemen pengelolaannya sangat perlu dilakukan. Hal ini mengingat bahwa sarana toilet memiliki potensi penyebaran kuman penyakit dari pengguna yang satu ke pengguna yang lainnya.
Dalam hal ini peran serta semua pihak sangat diperlukan. Pemerintah diharapkan dapat menetapkan kebijakan atau peraturan yang jelas mengenai pengadaan toilet umum, manajemen pengelolaan dan juga standar minimum kualitas toilet umum. Keterlibatan pihak swasta, lembaga
swadaya masyarakat atau masyarakat setempat dalam pengelolaan dapat dijadikan alternative dalam pengelolaan toilet umum agar kualitas kebersihan terpeliharan dengan baik. Dan ini semua
juga harus mendapat dukungan dari masyarakat untuk ikut memelihara fasilitas umum tersebut yaitu dengan menggunakan toilet dengan baik dan benar. Oleh karena itu sebuah upaya promosi kesehatan tentang pemakaian toilet perlu dilakukan.
Semua upaya perbaikan penyediaan sarana toilet umum ini bertujuan untuk menyediakan sarana toilet umum yang tersedia dalam jumlah dan kualtias yang cukup, terpelihara dengan baik, dan aksesibel.


DAFTAR PUSTAKA
1. Departement of Health and Ageing, 2008, The National Public Toilet Map, Departement of
Health and Ageing, Australian Goverment, diakses dari
http://www.toiletmap.gov.au/default.aspx pada tanggal 10 Maret 2008
2. Asosiasi Toilet Indonesia (ATI), 2006, Latar Belakang Pembentukan Asosiasi Toilet
Indonesia, ATI, diakses dari http://ati.inias.net/01_overview.php pada tanggal 10 Maret 2008.
3. Boroondara City Council, STRATEGY FOR THE PROVISION AND MANAGEMENT OF
PUBLIC TOILET FACILITIES 2005, Camberwell Vic.
4. Greed, C., The role of the public toilet: pathogen transmitter or health facilitator, Building
Service Engineering Research and Technology, Vol. 27, No. 2, 127-139 (2006)
5. Harry, 2007, Program Toilet Umum Bersih Dilanjutkan ke Obyek Wisata dan Daya Tarik
Wisata, Berita Wisatanet, 28 September 2007
http://www.wisatanet.com/templete/index.php?wil=4&id=000000000000591&idnews=3095
diakses tanggal 10 Maret 2008.
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 261/MENKES/SK/II/1998 Tentang : Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja
7. Khan, Akhtar Hameed, UNICEF Water and Sanitation Comentary, diakses dari
http://www.unicef.org/pon97/water1.htm pada tanggal 10 Maret 2008
8. Korea Govermment, 2006, Act on Public Toilet,Law No 7934, diakses dari
http://en.wtaa.or.kr/storage/contentsfiles/0_99/14/Act%20on%20Public%20Toilet.pdf pada
tanggal 10 Maret 2008.
9. National Environment Agency Singapore, 2002, Clean Public Toilets Edication Programme,
National Environment Agency (NEA) Singapore, diakses dari
http://app.nea.gov.sg/cms/htdocs/article.asp?pid=336 pada tanggal 10 Maret 2008
10. World Bank, 2006, Management Options for Public Toilets in Liuzhou, China, Water Supply
and Sanitation Feature Stories, the Water Supply and Sanitation Sector Board of the World
Bank, diakses dari http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTWSS/
0,,contentMDK:20874845~menuPK:3810623~pagePK:210058~piPK:210062~theSitePK:337
302,00.html

Jumat, 23 Desember 2011

Bahasa Tubuh

KEBIJAKAN KUALITAS DAN KUANTITAS GURU
DI ERA GLOBALISASI

Oleh: I Ketut Bagiastra

1. Latar Belakang
Penyertaan pendidikan dalam usaha pembangunan di berbagai bidang jelas diperlukan. Stimulasi dan penyertaan upaya pendidikan pada masyarakat yang sedang membangun ternyata memberikan hasil yang memuaskan di dalam mengatasi persoalan-persoalan dan hajat hidup orang banyak, baik di bidang perbaikan sistem politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya (Burhanuddin Salam, 1997: 172).
Tidak dapat disangkal lagi tentang besarnya arti pendidikan sebagai faktor universal yang mutlak ada dan harus diperhatikan secara khusus. Tidak berlebihan jika posisi pendidikan seharusnya dijadikan sebagai ”public good”.
Di Indonesia sudah seharusnya pendidikan diprioritaskan pengembangannya. Jika mencermati sudut politik will pemerintah, gagasan untuk itu telah diwujudkan melalui kebijakan pemerintah pada sektor pendidikan yaitu kurikulum 2004 yang penekanannya lebih pada dasar-dasar kompetensi atau dengan kata lain kurikulum berbasis kompetensi.
Ujung tobak dari setiap kebijakan atau yang berkaitan dengan pendidikan, akhirnya berpulang pada mahluk yang bernama guru. Gurulah yang akan melaksanakan secara operasional segala bentuk pola, gerak, dan geliatnya perubahan kurikulum tersebut. Seperti saat ini, ketika berbagai model pembelajaran yang berkaitan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sedang diujicobakan, gurulah yang sangat berperan dalam melaksanakannya. Masukan dari para guru tersebut akan dijadikan sebagai bagian dari perbaikan, terutama pada model pembelajaran itu sendiri dan juga pada komponen atau unsur-unsur kurikulum lainnya yang terkait dengan uji coba tersebut.
Sampai saat ini kurikulum yang diterapkan di Indonesia masih sangat labil perubahan kurikulum berlangsung begitu cepat. Kurikulum berbasis kompetensi yang di terapkan, belum semua tenaga pendidik dan kependidikan memahami dan mampu melaksanakan kurikulum tersebut sudah muncul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jika dicermati secara teoritis semuanya memiliki keunggulan, semuanya serba bagus, tidak ada argumentasi yang negatif. Persoalannya sesungguhnya adalah apakah sudah siap untuk melaksanakan semua itu, dengan kondisi pendidikan seperti ini. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. (Yatim Riyanto, 2006; 9). Menurut Mauritz Johnson (dalam Yatim Riyanto, 2006; 9) kurikulum ”prescribes (or at least anticipates) the result of instruction”.
Melihat peran yang begitu besar dari para guru, dengan perubahan kurikulum yang begitu cepat, lalu timbul pertanyaan: apakah guru-guru di Indonesia memiliki kualifikasi yang memadai untuk itu? Apakah guru-guru tersebut mempunyai kualitas professional kearah itu ? Selain itu, secara professional apakah guru-guru memiliki kemauan dan komitmen dalam upaya perbaikan kurikulum ini ? Yang menjadi kekhawatiran dan kegalauan kita adalah dari sekian guru yang jumlahnya jutaan tersebut, apakah persentase terbesar dari mereka itu lebih mengarah pada kualitas yang kurang memadai ? Secara kuantitas, cukupkah jumlah guru sekarang ini dan apakah mereka tersebar secara merata di seluruh Indonesia.
Pada era globalisasi ini, baik yang mencakup aspek ekonomi, budaya, politik, pendidikan atau aspek social sekalipun akan memberikan kemungkinan yang sangat terbuka bagi siapa saja untuk turut bersaing di setiap negara peserta. Persaingan bebas seperti ini menuntut kesiapan setiap negara secara optimal bila ingin tetap bisa berperan serta.
Dalam kondisi yang demikian itu, tidak ada jalan lain yang harus dilakukan oleh sebuah negara yaitu melaksanakan atau mereformasi system perekonomian, system perdagangan, sitem produksi, system pendidikan, atau system pembinaan sumberdaya manusianya yang sesuai dengan tuntutan era pasar bebas tersebut. Jika negara tidak menghindahkan hal tersebut, produk barang atau jasanya tidak memiliki daya saing yang memadai. Dengan demikian para investor dan atau para buyers tersebut tidak akan pernah berkehendak untuk tertarik dengan produk barang atau jasa negara tersebut.
Era globalisaasi merupakan suatu kondisi yang memperlihatkan dunia ini sudah semakin mengecil. Kita tidak akan bisa lagi menyembunyikan kebobrokan atau keadaan yang buruk dari suatu negara. (Sam M. Chan, dkk. 2005; 139). Hal itu kemungkinan terjadi berkat kemajuan teknik informatika. Kejadian apapun yang dialami oleh suatu negara, dalam waktu singkat akan diketahui oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam waktu yang relatif singkat berita baik atau buruk di suatu negara telah menggelobal. Di dalam kontek informatisasi, dunia ini sudah menjadi satu, tidak ada lagi kotak-kotak yang membatasi wilayah satu dengan lainnya. Dunia adalah satu tempat yang tunggal tanpa batas (borderless world and only one earth). (Azhari, 2000: 79).
Globalisasi memungkinkan menjadi sebuah proses interaktif yang mengembangkan suatu kebudayaan dunia yang sama sehingga akan memunculkan suatu budaya atau peradaban universal. Dengan demikian, kemajuan dan keterbelakangan suatu negara menjadi demikian transparan. Hal ini berimplikasi pada implementasi proses-proses global, seperti proses humanisasi dan proses demokratisasi. ( Tilaar dalam Sam M. Chan, dkk. 2005; 139).
Sektor pendidikan yang menjadi tulang punggung penting dalam membina dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), perlu mengambil langkah-langkah konkret dalam menghadapi kecendrungan global tersebut. Guru sebagai pasukan paling depan dalam mencetak sumber daya manusia memikul beban yang tidak ringan dengan kondisi dan tantangan saat ini, seperti yang kita saksikan dan rasakan bersama.
Mencermati latar belakang tersebut, berikut ini akan dicoba untuk melihat lebih jauh tentang kebijakan pemerintah kaitannya dengan kualitas dan kuantitas guru di era globalisasi.
2. Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan permasalahan, penulis mencoba membatasi permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut:
a. Bagaimana kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di era globalisasi ?
b. Bagaimana kualitas dan kuantitas guru yang ada di era globalisasi ?
c. Bagaimana mutu guru yang ideal diera globalisasi ?
d. Bagaimana mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia ?

3. Tujuan Pembahasan
Yang menjadi tujuan pada kajian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di era globalisasi.
b. Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas guru yang ada di era globalisasi.
c. Untuk mengetahui mutu guru yang ideal diera globalisasi.
d. Untuk mencarikan solusi mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia.

4. Pembahasan
a. Kesejahteran Guru di Era Globlisasi
Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses pembelajaran, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Dalam rangka ini guru tidak semata-mata sebagai ”pengajar” yang transfer of knowldge, tetapi juga sebagai ”pendidik” yang transfer of values dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar. Berkenaan dengan ini maka sebenarnya guru memiliki peranan yang unik dan sangat kompleks di dalam pembelajaran, dalam usahanya untuk mengantarkan siswa ke taraf yang dicita-citakan. Oleh karena itu setiap rencana kegiatan guru harus dapat didudukkan dan dibenarkan semata-mata demi kepentingan anak didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya. (Sardiman A. M., 1997: 123).
Untuk dapat melakukan peranan dan melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya, guru memerlukan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat inilah yang akan membedakan antara guru dari manusia-manusia lain pada umumnya. Adapun syarat-syarat bagi guru itu adalah pesyaratan administratif, persyaratan teknis, pesyaratan psikis, dan persyaratan fisik.
Sesuai dengan tugas keprofesiannya, maka guru memiliki persyaratan sebagai berikut, memiliki kemampuan profesional, memiliki kapasitas intelektual, memiliki sifat edukasi sosial. (Sardiman A. M., 1997: 124-129). Sesuai dengan Undang-Undng No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan Desember 2005 guru lagi-lagi dibebani dengan persyaratan terbaru yaitu ”sertifikasi” walaupun sampai saat ini belum dilaksanakan secara keseluruhan, tetapi cukup menjadi beban psikologis dikalangan para guru.
Memperhatikan tuntutan profesionalisme seorang guru yang tidak ringan, pertanyaan akan muncul dibenak kita apa imbalan yang akan dijanjikan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa ini ? Gaji guru saat ini, untuk golongan tertinggi saja hanya kurang lebih Rp. 2.400.000,- itu pun dengan masa kerja puluhan tahun.(Sam M. Chan dkk., 2006: 56). Lebih jauh dijelaskan bahwa bagaimana gaji guru yang hanya berada di tingkat bawah ? Dari hasil wawancara dengan guru-guru SD dan SLTP mengenai gaji yang mereka terima. Umumnya hanya cukup untuk biaya hidup selama kurang belih 10 hari pada setiap bulannya. Lantas ke mana mereka mencari uang lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga ?
Fenomena seperti ini tentu amat memprihatinkan, guru sebagai profesi yang dipandang sebagai ”orang suci” harus mengais-ngais mencari tambahan lain bagi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Jika ada keinginan pemerintah menaikkan gaji guru, baik berita maupun baru keinginan, harga-harga telah melambung tinggi mendahului kenaikan sesungguhnya yang masih saja tetap tidak memadai. Ditambah lagi dengan efek berita kenaikkan gaji yang menyodok meningkatnya kenaikan harga. Alhasil, kadang-kadang justru dengan kenaikan gajinya, kesejateraan guru bukan semakin membaik malah semakin memburuk.
Sekali lagi amat menyedihkan melihat kesejahteran guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya begitu rendah. Kadang-kadang untuk menutupi kekurangan gajinya dan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, seorang guru ada yang mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek. Pekerjaan ojek bukanlah pekerjaan hina, tetapi secara status sosial dan secara psikis, jauh di lubuk dan beribu rasa yang tidak nyaman. Namun, tuntutan kebutuhan hidup tak dapat diabaikan. Akhirnya untuk menghibur diri, berkatalah guru yang mempunyai kerja sampingan sebagai pengojek, ” Tak apalah, yang penting halal.”
Masih beruntung Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki guru dengan tingkat kesejahteraan rendah, para gurunya hanya bergelut di koridor pekerjaan ”yang penting halal” . Bagaimana seandainya para guru yang akibat himpitan ekonomi mulai melirik dan mengambil pekerjaan sampingan yang berlabel ”yang penting saya bekerja” tanpa mengindahklan nilai-nilai moral ? Bukankah hal ini bisa saja terjadi ?
b. Penyebaran Jumlah dan Mutu Guru
Masalah kualitas dan kuantitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah pemerataan guru.
Idealnya dalam satu sekolah, katakanlah SD, enam orang guru kelas, dua guru bidang studi, satu kepala sekolah, dan satu pesuruh. (Kompas, Kamis 22 Agustus 2002). Paling tidak sepuluh orang. Kebanyakan di banyak pedesaan, jumlah guru sekolah hanya ada sekitar 3-4 orang. Bahkan ada yang satu guru untk satu sekolah, juga pesuruh. ( Tuti T. Sam, 2006: 56).
Sementara itu, di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya bagus, terjadi penumpukan guru. Dalam satu SD dapat dijumpai 11-14 orang guru, termasuk diantaranya kepala sekolah. .(Sam M. Chan dkk., 2006: 58). Kalau sudah seperti itu dan ditanyakan ke pejabat Dins Dikpora hal itu dikatakan logis karena SD yang disebutkan tadi merupakan SD inti sehingga pengajarnya per bidang studi. Tentu saja jawaban tersebut sebagai pembenaran atas kebijakan mutasi guru yang lebih pada politik uang.
Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah yang maju diperkotaan dapat terus bertahan dengan kemajuannya, sementara sekolah yang kekurangan guru di pedesaan/daerah terpencil semakin terisolasi dan semakin terpuruk/ menurun kualitasnya.
Jadi, sekali lagi posisi guru amat renta. Dari segi kuantitas yang amat dilematis (ada banyak sekolah yang kekurangan guru sementara ada sekolah yang kelebihan guru) jika digeneralisasi atau dipersentase memang masih banyak kekurangan guru. Untuk hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan akan dibukanya peluang guru kontrak pada tahun ajaran 2003/2004. Setelah dikalkulasi ternyata anggaran untuk menggaji guru kontrak menjadi hampir tiga kali lipat dari alterntif lain yang tidak menjadi perhatian pemerintah. Ternyata amat kompleks problema untuk menjadikan pendidikan sebagai panglima di negeri ini.
Belum lagi berbicara mengenai kualitas guru. Seorang guru yang memiliki posisi strategis dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang semakin baik amat dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan kemampuan profesional ini harus selalu ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan SDM yang mampu menghadapi persaingan dunia menjelang tahun 2020 nanti. (Prima MD Nuwa, Merdeka, 19 Juli 1995. dalam Tuti T. Sam, 2006: 58).
Dilihat dari kesejateraan guru, bagaimana seorang guru dapat konsentrasi/fokus/serius dalam mengajar. Belum lagi masalah pelatihan-pelatihan yang seharusnya menjadi hak guru, pada kenyataannya di lapangan jika ada kegiatan-kegiatan yang berupaya meningkatkan skill dan profesionalisme, guru pula yang harus mengeluarkan biaya. Akhirnya, guru enggan mengikuti pelatihan yang bertujuan meningkatkan SDM guru karena harus mengeluarkan/menyisihkan gajinya yang memang sudah amat kecil tersebut.
Peningkatan dan menambahan kualitas dan kuantitas guru adalah adanya niat baik pemerintah pusat untuk dapat melakukan pemerataan jumlah guru dengan sistem ”guru kontrak”dan mengadakan perubahan kurikulum dengan berbasis pada kompetensi (KBK). Hal ini merupakan good will dari pemerintah terhadap dunia pendidikan.
Hal lain, bagi peningkatan mutu guru sebagai salah satu tuntutan dalam penciptaan SDM yang bermutu melalui kegiatan pendidikan yang lebih berkualitas adalah dengan dinaikkannya anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN. Kesadaran yang cukup tinggi dari para tokoh-tokoh dunia pendidikan untuk menyongsong abad baru ini dengan pendidikan yang lebih berkualitas, termasuk di dalamnya kepedulian wakil-wakil rakyat di DPR dalam menyuarakan dan mendorong perhatian yang lebih serius pada dunia pendidikan, juga merupakan salah satu komponen yang ikut menentukan terwujudnya kualitas dan kuantitas guru di Indonesia ke depan.
Persoalan yang kemungkinan muncul akibat penambahan jumlah guru melalui sitem kontrak masalah kualitas guru yang dikontrak. Artinya guru kontrak bisa saja merupakan guru kagetan, asal-asalan. Ditinjau dari sudut anggaran/dana pun menjadi berlipat dibandingkan membiayai dalam bentuk lain untuk tujuan yang sama.
Berdasarkan pada realitas di lapangan mengenai kualitas dan kuantitas guru, ditinjau dari jumlah guru secara keseluruhan dan dibagi rata, memang ada fakta kita kekurangan guru. Namun jika dilihat lebih cermat ternyata masalah kekurangan guru hanya terjadi di daerah-daerah terpencil karena sarana prasarana yang tidak menunjang dan memadai.
Oleh karena itu, pemerintah harus membuat terobosan dalam membangun. Artinya, harus ada pemerataan dibidang pembangunan. Hal ini barangkali dapat diatasi dengan adanya UU mengenai otonomi daerah. Di samping itu, pemerintah baik pusat maupun daerah, juga harus membuat program menstimulus lagi guru-guru yang mau mengabdi di daerah-daerah terpencil. Misalnya, ada semacam tunjangan khusus bagi guru yang mau mengabdikan dirinya bagi daerah/desa yang masuk kata gori terpencil sehingga ada semacam ukuran cost dan benefit bagi guru dari sudut rasional dan tuntutan sosial.
Pemerintah tidak perlu ragu dalam memberi umpan demi terjadi pemerataan, pendidikan yang bermutu. Kalau dulu guru dapat menolak ditempatkan di daerah terpencil karena yang terbayang padanya hidupnya akan susah dengan keterbatasan fasilitas sarana dan prasarana. Belum lagi gaji yang terlambat datang. Diharapkan kini dengan adanya kebijakan yang antisipatif yang sebesar-besarnya memperhatikan kesejahteraan guru plus tawaran konpensasi tinggal di daerah terpencil, para guru akan berpikir dua kali untuk menolak tawaran yang sangat manusiawi dan menjanjikan.
Mengenai kualitas guru, memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang diutamakan dalam rangka menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki skill/kemampuan yang tinggi. Pemerintah tidak perlu ragu untuk mengalokasikan dana bagi meningkatan kualitas guru karena tidak dapat disangkal lagi bahwa guru merupakan ujung tombak bagi keberhasilan dunia pendidikan. Apalagi kita sadari bersama bahwa indikasi dari carut marutnya/chaos-nya kondisi di Indonesia saat ini salah satunya adalah karena kegagalan pendidikan mencetak pemimpin negara yang andal, yang moralis, dan berbudi luhur. (Sam M. Chan. 2006: 62).
c. Guru Yang Ideal Di Era Globalisasi
Pada dasarnya peluang untuk membuat guru di Indonesia profesional dalam bidangnya itu ada. Tinggal bagaimana (political will) pemerintah melaksanakannya. Hal ini telah didukung dengan adanya kebijakan pemerintah menaikkan anggaran pendidiakan sebesar 20% dari APBN. Kalau ini benar-benar dinomorsatukan dan dilaksanakan tanpa harus menunggu pengalokasian bidang lain, diharapkan pembinaan guru dapat ditingkatkan melalui anggaran tersebut.
Budaya top down untuk hal-hal yang positif pun tidak ada salahnya. Sebagai contoh, pemerintah pusat menginginkan adanya pembinaan guru-guru untuk meningkatkan skill agar lebih profesional dan bermutu. Di tingkat atas tinggal menginformasikan pada level yang lebih rendah sampai kepada guru. Guru-guru akan senang mendapat pembinaan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuannya.
Peluang lain dalam rangka meningkatkan kualitas guru adalah perhatian dari berbagai pihak termasuk bantuan dari luar negeri. Selama dalam pengimplementasiannya tidak dijamah dan dikotori tangan-tangan jahil, dan mengalirkan bantuan tak terlambat, upaya meningkatan SDM guru diharapkan dapat tercapai. Pada akhirnya guru akan lebih berdedikasi dalam mendidik putra-putri bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan.
Kita tidak boleh menutup sebelah mata bahwa keberhasilan Jepang setelah dibom pada Perang Dunia II, keberhasilan Jerman, Korea, bahkan Malaysia yang pada beberapa puluh tahun lalu masih berguru ke Indonesia, kini menjadi negara yang cukup maju. Keberhasilan mereka sebagaimana laporan komisi UNESCO semata-mata karena negara-negara tersebut tidak pernah merasa takut rugi mengeluarkan dana yang besar bagi kepentingan pendidikan. . (Sam M. Chan dkk. 2006: 63). Bagi mereka hal tersebut merupakan investasi bagi masa mendatang (human investment). Mereka tidak perlu menunggu waktu lama, kini mereka telah memetik hasilnya.
Kalau negara lain bisa melakukan hal tersebut, tidak pernah ada kata terlambat untuk itu atau kita akan kehilangan sama sekali kesempatan memperbaiki generasi yang akan datang. Beranikah kita menghadapi lost generation bagi anak cucu kita ? Pendidikan yang bermutu memerlukan dana karena itu jangan hitung benefit demi keuntungan pribadi. Hitunglah cost benefit sebesar-besarnya untuk kepentingan bangsa ini.
Undang Undang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik. Tuntutan kompetensi ini pada Pasal 10 UUGD dijabarkan menjadi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profsional, dan kompetensi sosial. (Muchls Samani, dkk. 2006: 37).
Sesuai dengan kehadiran Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) dimaksudkan sebagai suatu komponen dari upaya peningkatan mutu pendidikan. Dengan adanya UUGD yang mewajibkan guru (disemua jenjang dan jenis pendidikan) mengikuti dan lulus sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai standar yang telah ditetapkan. (Muchls Samani, dkk. 2006: 4).
Pada pasal 1 ayat (1) UUGD disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Rumusan ini sangat mirip dengan isi yang terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UUSPN sehingga dapat dikatakan bahwa definisi tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia. Hal ini dipertegas lagi pada Pasal 8 UUGD yang disebutkan guru wajib memiliki kualifikasi akademik , kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Rumusan ini hampir sama dengan isi rumusan pada Pasal 42 ayat (1) UUSPN. Perbedaan di antara kedua rumusan hanya pada penggunaan istilah ”kualifikasi akademik” pada UUGD, sedangkan pada UUSPN menggunakan istilah ”kualifikasi minimum”. Namun jika dicermati substansi isi keduanya secara maknawi tidak mengandung hal-hal yang secara substansi bertentangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia memang diwajibkan memenuhi tiga persyaratan, yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidikan.
Kaitan ketiga persyaratan untuk menjadi guru di atas, bisa diperjelas dengan melacak isi Pasal 1 butir (12) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan bahwa sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Untuk itu guru dapat memperoleh sertifikasi pendidik jika telah memenuhi dua syarat, yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan (diploma-D4/sarjana-S1) dan terbukti telah menguasai kompetensi tertentu. Dengan demikian syarat untuk menjadi guru bila dicermati lebih dalam hanya ada dua, yaitu kualifikasi akademik minimum (ijazah D4/S1) dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Jadi sertifikasi pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat di atas, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru.

d. Solusi Mengatasi Persoalan Pendidikan di Indonesia
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusipdan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut danya perubahan pengelolan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat desentralistik.
Tilaar bahkan mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu keaharusan. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah: (a) pembangunan masyarakat demokrasi; (b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan daya saing bangsa. (Tilaar. 2002: 20).
Penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari profesionalisasi pendidik. Sebab yang menjadi penyelenggara pendidikan adalah para pendidik juga. (Pidarta, 2006: 286). Yang dimaksud dengan penyelenggara adalah mereka yang menduduki jabatan struktural, seperti kepala sekolah, ketua jurusan, dekan, dan rektor. Pejabat struktural di kantor-kantor pendidikan juga dapat disebut penyelenggara pendidikan, walaupun hanya menangani aturan dan kebijakan, sebab kedua hal ini juga mempengaruhi bahkan dalam hal-hal tertentu menentukan pelaksanaan pendidikan di sekolah atau di perguruan tinggi.Sudah menjadi kewajiban, bahkan suatu keharusan mutlak bagi para penyelenggara pendidikan untuk bertindak profesional dalam pendidikan. Hanya dengan cara demikian penyelenggaraan pendidikan yang melibatkan sejumlah pendidik yang propesional dapat berjalan dengan efektif dan efesien. Para penyelenggara pendidikan di Indonesia sampai saat ini belum profesional. (Pidarta. 2006: 288). Hal ini dapat dimaklumi sebab hampir semua penyelenggara pendidikan jalur sekolah direkrut dari para pendidik yang berpengalaman dan sukses. Sebagai pendidik sangat mungkin mereka sudah profesional, tetapi sebagai penyelenggara penidikan haruslah seorang profesional di bidang itu, malah harus lebih profesional dari pada para pendidik, sebab peranan penyelenggara pendidikan lebih besar dibandingkan dengan peranan para pendidik dalam mensukseskan pendidikan.
Manajemen pendidikan tidak sama dengan manajemen pemerintahan, apa lagi manajemen bisnis yang mementingkan keuntungan uang. Manajemen pendidikan adalah menangani individu-individu peserta didik yang hidup dinamis dan unik yang sedang berkembang dan bertumbuh. Bantuan dan kesempatan berkembang ke arah positif inilah yang harus dicapai oleh manajemen pendidikan. Manajemen ini membutuhkan banyak variasi, kreasi, dan kiat yang hanya diperoleh melalui pendidikan formal dan sejumlah pengalaman lapangan. Sebab manajemen ini bermuara pada keberhasilan proses pendidikan.
Gerak dan dinamika penyelenggara pendidikan hampir sama dengan gerak dan dinamika manajer perusahan, tidak sama dengan kepala kantor dalam bidang pemerintahan. Sama halnya dengan kepala perusahaan, penyelenggra pendidikan adalah pemimpin lembaga pendidikan, yang bertanggung jawab terhadap hidup dan majunya lembaga yang ia pimpin.
5. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan, maka berikut ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kesejahteran guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya sampai saat ini masih sangat memprihatinkan, sehingga pahlawan tanpa tanda jasa masih harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
2. Kualitas dan kuantitas guru saat ini, merupakan hal yang dilematis, secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai,
3. Guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik, yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profsional, dan kompetensi sosial.
4. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah, termasuk didalamnya desentralisasi pendidikan, yang meliputi pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa, penyelenggaraan pendidikan yang profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Azahari, Azril. Dampak Globalisasi di Pendidikan Tinggi untuk Mengantisipasi Tahun 2020. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Tahun ke 6 No. 023, Mei 2000, halaman 78-89.

Salam, Burhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: Rineka Cipta.

Made Pidarta. 2006. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Muchlas Samani, dkk. 2006. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia. Indonesia: Asosiasi Peneliti Pendidikan Indonesia

Sam M. Chan dan Tuti T. Sam. 2006. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sardiman A. M. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Damaningtyas.. Guru Kontrak Memboroskan Anggaran. Kompas. 22 Agustus 2002

Tilaar, H. A. R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdaka