Senin, 29 Maret 2010

Kualitas dan Kuantitas Guru

KEBIJAKAN KUALITAS DAN KUANTITAS GURU
DI ERA GLOBALISASI

Oleh: I Ketut Bagiastra

1. Latar Belakang
Penyertaan pendidikan dalam usaha pembangunan di berbagai bidang jelas diperlukan. Stimulasi dan penyertaan upaya pendidikan pada masyarakat yang sedang membangun ternyata memberikan hasil yang memuaskan di dalam mengatasi persoalan-persoalan dan hajat hidup orang banyak, baik di bidang perbaikan sistem politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya (Burhanuddin Salam, 1997: 172).
Tidak dapat disangkal lagi tentang besarnya arti pendidikan sebagai faktor universal yang mutlak ada dan harus diperhatikan secara khusus. Tidak berlebihan jika posisi pendidikan seharusnya dijadikan sebagai ”public good”.
Di Indonesia sudah seharusnya pendidikan diprioritaskan pengembangannya. Jika mencermati sudut politik will pemerintah, gagasan untuk itu telah diwujudkan melalui kebijakan pemerintah pada sektor pendidikan yaitu kurikulum 2004 yang penekanannya lebih pada dasar-dasar kompetensi atau dengan kata lain kurikulum berbasis kompetensi.
Ujung tobak dari setiap kebijakan atau yang berkaitan dengan pendidikan, akhirnya berpulang pada mahluk yang bernama guru. Gurulah yang akan melaksanakan secara operasional segala bentuk pola, gerak, dan geliatnya perubahan kurikulum tersebut. Seperti saat ini, ketika berbagai model pembelajaran yang berkaitan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sedang diujicobakan, gurulah yang sangat berperan dalam melaksanakannya. Masukan dari para guru tersebut akan dijadikan sebagai bagian dari perbaikan, terutama pada model pembelajaran itu sendiri dan juga pada komponen atau unsur-unsur kurikulum lainnya yang terkait dengan uji coba tersebut.
Sampai saat ini kurikulum yang diterapkan di Indonesia masih sangat labil perubahan kurikulum berlangsung begitu cepat. Kurikulum berbasis kompetensi yang di terapkan, belum semua tenaga pendidik dan kependidikan memahami dan mampu melaksanakan kurikulum tersebut sudah muncul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jika dicermati secara teoritis semuanya memiliki keunggulan, semuanya serba bagus, tidak ada argumentasi yang negatif. Persoalannya sesungguhnya adalah apakah sudah siap untuk melaksanakan semua itu, dengan kondisi pendidikan seperti ini. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. (Yatim Riyanto, 2006; 9). Menurut Mauritz Johnson (dalam Yatim Riyanto, 2006; 9) kurikulum ”prescribes (or at least anticipates) the result of instruction”.
Melihat peran yang begitu besar dari para guru, dengan perubahan kurikulum yang begitu cepat, lalu timbul pertanyaan: apakah guru-guru di Indonesia memiliki kualifikasi yang memadai untuk itu? Apakah guru-guru tersebut mempunyai kualitas professional kearah itu ? Selain itu, secara professional apakah guru-guru memiliki kemauan dan komitmen dalam upaya perbaikan kurikulum ini ? Yang menjadi kekhawatiran dan kegalauan kita adalah dari sekian guru yang jumlahnya jutaan tersebut, apakah persentase terbesar dari mereka itu lebih mengarah pada kualitas yang kurang memadai ? Secara kuantitas, cukupkah jumlah guru sekarang ini dan apakah mereka tersebar secara merata di seluruh Indonesia.
Pada era globalisasi ini, baik yang mencakup aspek ekonomi, budaya, politik, pendidikan atau aspek social sekalipun akan memberikan kemungkinan yang sangat terbuka bagi siapa saja untuk turut bersaing di setiap negara peserta. Persaingan bebas seperti ini menuntut kesiapan setiap negara secara optimal bila ingin tetap bisa berperan serta.
Dalam kondisi yang demikian itu, tidak ada jalan lain yang harus dilakukan oleh sebuah negara yaitu melaksanakan atau mereformasi system perekonomian, system perdagangan, sitem produksi, system pendidikan, atau system pembinaan sumberdaya manusianya yang sesuai dengan tuntutan era pasar bebas tersebut. Jika negara tidak menghindahkan hal tersebut, produk barang atau jasanya tidak memiliki daya saing yang memadai. Dengan demikian para investor dan atau para buyers tersebut tidak akan pernah berkehendak untuk tertarik dengan produk barang atau jasa negara tersebut.
Era globalisaasi merupakan suatu kondisi yang memperlihatkan dunia ini sudah semakin mengecil. Kita tidak akan bisa lagi menyembunyikan kebobrokan atau keadaan yang buruk dari suatu negara. (Sam M. Chan, dkk. 2005; 139). Hal itu kemungkinan terjadi berkat kemajuan teknik informatika. Kejadian apapun yang dialami oleh suatu negara, dalam waktu singkat akan diketahui oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam waktu yang relatif singkat berita baik atau buruk di suatu negara telah menggelobal. Di dalam kontek informatisasi, dunia ini sudah menjadi satu, tidak ada lagi kotak-kotak yang membatasi wilayah satu dengan lainnya. Dunia adalah satu tempat yang tunggal tanpa batas (borderless world and only one earth). (Azhari, 2000: 79).
Globalisasi memungkinkan menjadi sebuah proses interaktif yang mengembangkan suatu kebudayaan dunia yang sama sehingga akan memunculkan suatu budaya atau peradaban universal. Dengan demikian, kemajuan dan keterbelakangan suatu negara menjadi demikian transparan. Hal ini berimplikasi pada implementasi proses-proses global, seperti proses humanisasi dan proses demokratisasi. ( Tilaar dalam Sam M. Chan, dkk. 2005; 139).
Sektor pendidikan yang menjadi tulang punggung penting dalam membina dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), perlu mengambil langkah-langkah konkret dalam menghadapi kecendrungan global tersebut. Guru sebagai pasukan paling depan dalam mencetak sumber daya manusia memikul beban yang tidak ringan dengan kondisi dan tantangan saat ini, seperti yang kita saksikan dan rasakan bersama.
Mencermati latar belakang tersebut, berikut ini akan dicoba untuk melihat lebih jauh tentang kebijakan pemerintah kaitannya dengan kualitas dan kuantitas guru di era globalisasi.
2. Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan permasalahan, penulis mencoba membatasi permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut:
a. Bagaimana kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di era globalisasi ?
b. Bagaimana kualitas dan kuantitas guru yang ada di era globalisasi ?
c. Bagaimana mutu guru yang ideal diera globalisasi ?
d. Bagaimana mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia ?

3. Tujuan Pembahasan
Yang menjadi tujuan pada kajian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di era globalisasi.
b. Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas guru yang ada di era globalisasi.
c. Untuk mengetahui mutu guru yang ideal diera globalisasi.
d. Untuk mencarikan solusi mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia.

4. Pembahasan
a. Kesejahteran Guru di Era Globlisasi
Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses pembelajaran, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Dalam rangka ini guru tidak semata-mata sebagai ”pengajar” yang transfer of knowldge, tetapi juga sebagai ”pendidik” yang transfer of values dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar. Berkenaan dengan ini maka sebenarnya guru memiliki peranan yang unik dan sangat kompleks di dalam pembelajaran, dalam usahanya untuk mengantarkan siswa ke taraf yang dicita-citakan. Oleh karena itu setiap rencana kegiatan guru harus dapat didudukkan dan dibenarkan semata-mata demi kepentingan anak didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya. (Sardiman A. M., 1997: 123).
Untuk dapat melakukan peranan dan melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya, guru memerlukan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat inilah yang akan membedakan antara guru dari manusia-manusia lain pada umumnya. Adapun syarat-syarat bagi guru itu adalah pesyaratan administratif, persyaratan teknis, pesyaratan psikis, dan persyaratan fisik.
Sesuai dengan tugas keprofesiannya, maka guru memiliki persyaratan sebagai berikut, memiliki kemampuan profesional, memiliki kapasitas intelektual, memiliki sifat edukasi sosial. (Sardiman A. M., 1997: 124-129). Sesuai dengan Undang-Undng No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan Desember 2005 guru lagi-lagi dibebani dengan persyaratan terbaru yaitu ”sertifikasi” walaupun sampai saat ini belum dilaksanakan secara keseluruhan, tetapi cukup menjadi beban psikologis dikalangan para guru.
Memperhatikan tuntutan profesionalisme seorang guru yang tidak ringan, pertanyaan akan muncul dibenak kita apa imbalan yang akan dijanjikan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa ini ? Gaji guru saat ini, untuk golongan tertinggi saja hanya kurang lebih Rp. 2.400.000,- itu pun dengan masa kerja puluhan tahun.(Sam M. Chan dkk., 2006: 56). Lebih jauh dijelaskan bahwa bagaimana gaji guru yang hanya berada di tingkat bawah ? Dari hasil wawancara dengan guru-guru SD dan SLTP mengenai gaji yang mereka terima. Umumnya hanya cukup untuk biaya hidup selama kurang belih 10 hari pada setiap bulannya. Lantas ke mana mereka mencari uang lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga ?
Fenomena seperti ini tentu amat memprihatinkan, guru sebagai profesi yang dipandang sebagai ”orang suci” harus mengais-ngais mencari tambahan lain bagi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Jika ada keinginan pemerintah menaikkan gaji guru, baik berita maupun baru keinginan, harga-harga telah melambung tinggi mendahului kenaikan sesungguhnya yang masih saja tetap tidak memadai. Ditambah lagi dengan efek berita kenaikkan gaji yang menyodok meningkatnya kenaikan harga. Alhasil, kadang-kadang justru dengan kenaikan gajinya, kesejateraan guru bukan semakin membaik malah semakin memburuk.
Sekali lagi amat menyedihkan melihat kesejahteran guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya begitu rendah. Kadang-kadang untuk menutupi kekurangan gajinya dan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, seorang guru ada yang mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek. Pekerjaan ojek bukanlah pekerjaan hina, tetapi secara status sosial dan secara psikis, jauh di lubuk dan beribu rasa yang tidak nyaman. Namun, tuntutan kebutuhan hidup tak dapat diabaikan. Akhirnya untuk menghibur diri, berkatalah guru yang mempunyai kerja sampingan sebagai pengojek, ” Tak apalah, yang penting halal.”
Masih beruntung Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki guru dengan tingkat kesejahteraan rendah, para gurunya hanya bergelut di koridor pekerjaan ”yang penting halal” . Bagaimana seandainya para guru yang akibat himpitan ekonomi mulai melirik dan mengambil pekerjaan sampingan yang berlabel ”yang penting saya bekerja” tanpa mengindahklan nilai-nilai moral ? Bukankah hal ini bisa saja terjadi ?
b. Penyebaran Jumlah dan Mutu Guru
Masalah kualitas dan kuantitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah pemerataan guru.
Idealnya dalam satu sekolah, katakanlah SD, enam orang guru kelas, dua guru bidang studi, satu kepala sekolah, dan satu pesuruh. (Kompas, Kamis 22 Agustus 2002). Paling tidak sepuluh orang. Kebanyakan di banyak pedesaan, jumlah guru sekolah hanya ada sekitar 3-4 orang. Bahkan ada yang satu guru untk satu sekolah, juga pesuruh. ( Tuti T. Sam, 2006: 56).
Sementara itu, di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya bagus, terjadi penumpukan guru. Dalam satu SD dapat dijumpai 11-14 orang guru, termasuk diantaranya kepala sekolah. .(Sam M. Chan dkk., 2006: 58). Kalau sudah seperti itu dan ditanyakan ke pejabat Dins Dikpora hal itu dikatakan logis karena SD yang disebutkan tadi merupakan SD inti sehingga pengajarnya per bidang studi. Tentu saja jawaban tersebut sebagai pembenaran atas kebijakan mutasi guru yang lebih pada politik uang.
Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah yang maju diperkotaan dapat terus bertahan dengan kemajuannya, sementara sekolah yang kekurangan guru di pedesaan/daerah terpencil semakin terisolasi dan semakin terpuruk/ menurun kualitasnya.
Jadi, sekali lagi posisi guru amat renta. Dari segi kuantitas yang amat dilematis (ada banyak sekolah yang kekurangan guru sementara ada sekolah yang kelebihan guru) jika digeneralisasi atau dipersentase memang masih banyak kekurangan guru. Untuk hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan akan dibukanya peluang guru kontrak pada tahun ajaran 2003/2004. Setelah dikalkulasi ternyata anggaran untuk menggaji guru kontrak menjadi hampir tiga kali lipat dari alterntif lain yang tidak menjadi perhatian pemerintah. Ternyata amat kompleks problema untuk menjadikan pendidikan sebagai panglima di negeri ini.
Belum lagi berbicara mengenai kualitas guru. Seorang guru yang memiliki posisi strategis dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang semakin baik amat dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan kemampuan profesional ini harus selalu ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan SDM yang mampu menghadapi persaingan dunia menjelang tahun 2020 nanti. (Prima MD Nuwa, Merdeka, 19 Juli 1995. dalam Tuti T. Sam, 2006: 58).
Dilihat dari kesejateraan guru, bagaimana seorang guru dapat konsentrasi/fokus/serius dalam mengajar. Belum lagi masalah pelatihan-pelatihan yang seharusnya menjadi hak guru, pada kenyataannya di lapangan jika ada kegiatan-kegiatan yang berupaya meningkatkan skill dan profesionalisme, guru pula yang harus mengeluarkan biaya. Akhirnya, guru enggan mengikuti pelatihan yang bertujuan meningkatkan SDM guru karena harus mengeluarkan/menyisihkan gajinya yang memang sudah amat kecil tersebut.
Peningkatan dan menambahan kualitas dan kuantitas guru adalah adanya niat baik pemerintah pusat untuk dapat melakukan pemerataan jumlah guru dengan sistem ”guru kontrak”dan mengadakan perubahan kurikulum dengan berbasis pada kompetensi (KBK). Hal ini merupakan good will dari pemerintah terhadap dunia pendidikan.
Hal lain, bagi peningkatan mutu guru sebagai salah satu tuntutan dalam penciptaan SDM yang bermutu melalui kegiatan pendidikan yang lebih berkualitas adalah dengan dinaikkannya anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN. Kesadaran yang cukup tinggi dari para tokoh-tokoh dunia pendidikan untuk menyongsong abad baru ini dengan pendidikan yang lebih berkualitas, termasuk di dalamnya kepedulian wakil-wakil rakyat di DPR dalam menyuarakan dan mendorong perhatian yang lebih serius pada dunia pendidikan, juga merupakan salah satu komponen yang ikut menentukan terwujudnya kualitas dan kuantitas guru di Indonesia ke depan.
Persoalan yang kemungkinan muncul akibat penambahan jumlah guru melalui sitem kontrak masalah kualitas guru yang dikontrak. Artinya guru kontrak bisa saja merupakan guru kagetan, asal-asalan. Ditinjau dari sudut anggaran/dana pun menjadi berlipat dibandingkan membiayai dalam bentuk lain untuk tujuan yang sama.
Berdasarkan pada realitas di lapangan mengenai kualitas dan kuantitas guru, ditinjau dari jumlah guru secara keseluruhan dan dibagi rata, memang ada fakta kita kekurangan guru. Namun jika dilihat lebih cermat ternyata masalah kekurangan guru hanya terjadi di daerah-daerah terpencil karena sarana prasarana yang tidak menunjang dan memadai.
Oleh karena itu, pemerintah harus membuat terobosan dalam membangun. Artinya, harus ada pemerataan dibidang pembangunan. Hal ini barangkali dapat diatasi dengan adanya UU mengenai otonomi daerah. Di samping itu, pemerintah baik pusat maupun daerah, juga harus membuat program menstimulus lagi guru-guru yang mau mengabdi di daerah-daerah terpencil. Misalnya, ada semacam tunjangan khusus bagi guru yang mau mengabdikan dirinya bagi daerah/desa yang masuk kata gori terpencil sehingga ada semacam ukuran cost dan benefit bagi guru dari sudut rasional dan tuntutan sosial.
Pemerintah tidak perlu ragu dalam memberi umpan demi terjadi pemerataan, pendidikan yang bermutu. Kalau dulu guru dapat menolak ditempatkan di daerah terpencil karena yang terbayang padanya hidupnya akan susah dengan keterbatasan fasilitas sarana dan prasarana. Belum lagi gaji yang terlambat datang. Diharapkan kini dengan adanya kebijakan yang antisipatif yang sebesar-besarnya memperhatikan kesejahteraan guru plus tawaran konpensasi tinggal di daerah terpencil, para guru akan berpikir dua kali untuk menolak tawaran yang sangat manusiawi dan menjanjikan.
Mengenai kualitas guru, memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang diutamakan dalam rangka menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki skill/kemampuan yang tinggi. Pemerintah tidak perlu ragu untuk mengalokasikan dana bagi meningkatan kualitas guru karena tidak dapat disangkal lagi bahwa guru merupakan ujung tombak bagi keberhasilan dunia pendidikan. Apalagi kita sadari bersama bahwa indikasi dari carut marutnya/chaos-nya kondisi di Indonesia saat ini salah satunya adalah karena kegagalan pendidikan mencetak pemimpin negara yang andal, yang moralis, dan berbudi luhur. (Sam M. Chan. 2006: 62).
c. Guru Yang Ideal Di Era Globalisasi
Pada dasarnya peluang untuk membuat guru di Indonesia profesional dalam bidangnya itu ada. Tinggal bagaimana (political will) pemerintah melaksanakannya. Hal ini telah didukung dengan adanya kebijakan pemerintah menaikkan anggaran pendidiakan sebesar 20% dari APBN. Kalau ini benar-benar dinomorsatukan dan dilaksanakan tanpa harus menunggu pengalokasian bidang lain, diharapkan pembinaan guru dapat ditingkatkan melalui anggaran tersebut.
Budaya top down untuk hal-hal yang positif pun tidak ada salahnya. Sebagai contoh, pemerintah pusat menginginkan adanya pembinaan guru-guru untuk meningkatkan skill agar lebih profesional dan bermutu. Di tingkat atas tinggal menginformasikan pada level yang lebih rendah sampai kepada guru. Guru-guru akan senang mendapat pembinaan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuannya.
Peluang lain dalam rangka meningkatkan kualitas guru adalah perhatian dari berbagai pihak termasuk bantuan dari luar negeri. Selama dalam pengimplementasiannya tidak dijamah dan dikotori tangan-tangan jahil, dan mengalirkan bantuan tak terlambat, upaya meningkatan SDM guru diharapkan dapat tercapai. Pada akhirnya guru akan lebih berdedikasi dalam mendidik putra-putri bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan.
Kita tidak boleh menutup sebelah mata bahwa keberhasilan Jepang setelah dibom pada Perang Dunia II, keberhasilan Jerman, Korea, bahkan Malaysia yang pada beberapa puluh tahun lalu masih berguru ke Indonesia, kini menjadi negara yang cukup maju. Keberhasilan mereka sebagaimana laporan komisi UNESCO semata-mata karena negara-negara tersebut tidak pernah merasa takut rugi mengeluarkan dana yang besar bagi kepentingan pendidikan. . (Sam M. Chan dkk. 2006: 63). Bagi mereka hal tersebut merupakan investasi bagi masa mendatang (human investment). Mereka tidak perlu menunggu waktu lama, kini mereka telah memetik hasilnya.
Kalau negara lain bisa melakukan hal tersebut, tidak pernah ada kata terlambat untuk itu atau kita akan kehilangan sama sekali kesempatan memperbaiki generasi yang akan datang. Beranikah kita menghadapi lost generation bagi anak cucu kita ? Pendidikan yang bermutu memerlukan dana karena itu jangan hitung benefit demi keuntungan pribadi. Hitunglah cost benefit sebesar-besarnya untuk kepentingan bangsa ini.
Undang Undang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik. Tuntutan kompetensi ini pada Pasal 10 UUGD dijabarkan menjadi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profsional, dan kompetensi sosial. (Muchls Samani, dkk. 2006: 37).
Sesuai dengan kehadiran Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) dimaksudkan sebagai suatu komponen dari upaya peningkatan mutu pendidikan. Dengan adanya UUGD yang mewajibkan guru (disemua jenjang dan jenis pendidikan) mengikuti dan lulus sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai standar yang telah ditetapkan. (Muchls Samani, dkk. 2006: 4).
Pada pasal 1 ayat (1) UUGD disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Rumusan ini sangat mirip dengan isi yang terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UUSPN sehingga dapat dikatakan bahwa definisi tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia. Hal ini dipertegas lagi pada Pasal 8 UUGD yang disebutkan guru wajib memiliki kualifikasi akademik , kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Rumusan ini hampir sama dengan isi rumusan pada Pasal 42 ayat (1) UUSPN. Perbedaan di antara kedua rumusan hanya pada penggunaan istilah ”kualifikasi akademik” pada UUGD, sedangkan pada UUSPN menggunakan istilah ”kualifikasi minimum”. Namun jika dicermati substansi isi keduanya secara maknawi tidak mengandung hal-hal yang secara substansi bertentangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia memang diwajibkan memenuhi tiga persyaratan, yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidikan.
Kaitan ketiga persyaratan untuk menjadi guru di atas, bisa diperjelas dengan melacak isi Pasal 1 butir (12) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan bahwa sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Untuk itu guru dapat memperoleh sertifikasi pendidik jika telah memenuhi dua syarat, yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan (diploma-D4/sarjana-S1) dan terbukti telah menguasai kompetensi tertentu. Dengan demikian syarat untuk menjadi guru bila dicermati lebih dalam hanya ada dua, yaitu kualifikasi akademik minimum (ijazah D4/S1) dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Jadi sertifikasi pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat di atas, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru.

d. Solusi Mengatasi Persoalan Pendidikan di Indonesia
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusipdan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut danya perubahan pengelolan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat desentralistik.
Tilaar bahkan mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu keaharusan. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah: (a) pembangunan masyarakat demokrasi; (b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan daya saing bangsa. (Tilaar. 2002: 20).
Penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari profesionalisasi pendidik. Sebab yang menjadi penyelenggara pendidikan adalah para pendidik juga. (Pidarta, 2006: 286). Yang dimaksud dengan penyelenggara adalah mereka yang menduduki jabatan struktural, seperti kepala sekolah, ketua jurusan, dekan, dan rektor. Pejabat struktural di kantor-kantor pendidikan juga dapat disebut penyelenggara pendidikan, walaupun hanya menangani aturan dan kebijakan, sebab kedua hal ini juga mempengaruhi bahkan dalam hal-hal tertentu menentukan pelaksanaan pendidikan di sekolah atau di perguruan tinggi.Sudah menjadi kewajiban, bahkan suatu keharusan mutlak bagi para penyelenggara pendidikan untuk bertindak profesional dalam pendidikan. Hanya dengan cara demikian penyelenggaraan pendidikan yang melibatkan sejumlah pendidik yang propesional dapat berjalan dengan efektif dan efesien. Para penyelenggara pendidikan di Indonesia sampai saat ini belum profesional. (Pidarta. 2006: 288). Hal ini dapat dimaklumi sebab hampir semua penyelenggara pendidikan jalur sekolah direkrut dari para pendidik yang berpengalaman dan sukses. Sebagai pendidik sangat mungkin mereka sudah profesional, tetapi sebagai penyelenggara penidikan haruslah seorang profesional di bidang itu, malah harus lebih profesional dari pada para pendidik, sebab peranan penyelenggara pendidikan lebih besar dibandingkan dengan peranan para pendidik dalam mensukseskan pendidikan.
Manajemen pendidikan tidak sama dengan manajemen pemerintahan, apa lagi manajemen bisnis yang mementingkan keuntungan uang. Manajemen pendidikan adalah menangani individu-individu peserta didik yang hidup dinamis dan unik yang sedang berkembang dan bertumbuh. Bantuan dan kesempatan berkembang ke arah positif inilah yang harus dicapai oleh manajemen pendidikan. Manajemen ini membutuhkan banyak variasi, kreasi, dan kiat yang hanya diperoleh melalui pendidikan formal dan sejumlah pengalaman lapangan. Sebab manajemen ini bermuara pada keberhasilan proses pendidikan.
Gerak dan dinamika penyelenggara pendidikan hampir sama dengan gerak dan dinamika manajer perusahan, tidak sama dengan kepala kantor dalam bidang pemerintahan. Sama halnya dengan kepala perusahaan, penyelenggra pendidikan adalah pemimpin lembaga pendidikan, yang bertanggung jawab terhadap hidup dan majunya lembaga yang ia pimpin.
5. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan, maka berikut ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kesejahteran guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya sampai saat ini masih sangat memprihatinkan, sehingga pahlawan tanpa tanda jasa masih harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
2. Kualitas dan kuantitas guru saat ini, merupakan hal yang dilematis, secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai,
3. Guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik, yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profsional, dan kompetensi sosial.
4. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah, termasuk didalamnya desentralisasi pendidikan, yang meliputi pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa, penyelenggaraan pendidikan yang profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Azahari, Azril. Dampak Globalisasi di Pendidikan Tinggi untuk Mengantisipasi Tahun 2020. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Tahun ke 6 No. 023, Mei 2000, halaman 78-89.

Salam, Burhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: Rineka Cipta.

Made Pidarta. 2006. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Muchlas Samani, dkk. 2006. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia. Indonesia: Asosiasi Peneliti Pendidikan Indonesia

Sam M. Chan dan Tuti T. Sam. 2006. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sardiman A. M. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Damaningtyas.. Guru Kontrak Memboroskan Anggaran. Kompas. 22 Agustus 2002

Tilaar, H. A. R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdaka

1 komentar:

  1. Dita ayu and bersahaja...semoga menjadi anak yg berbakti kpd ke2 ortu, agama,bangsa dan negara, dapat jodoh yg baik, sukses selalu nak...

    BalasHapus